Bolos?(2)

32 4 0
                                    

Malam minggu, satu-satunya momen dimana keluarga Templya makan bersama.
          
“Miranda, aku sudah menandatangani form persetujuan kerja sama dengan Dg group.”
           
“Lha, kau bilang sendiri direkturnya nggak bener?” Tanya Mirada pada suaminya.
           
“Kalau kita tak bekerja sama, perusahaan kita terancam oleh perusahaan Xolory.” Hening
           
“Apa ini karena wanita itu?” Tanya Miranda.
           
“Manajerku sedang mengurusinya. Oiya, kemarin tabungan untuk modal proyek C kecurian. Aku mau menyewa penjaga.”
           
“Kenapa uangnya tidak kau pakai untuk periklanan, lepaskan saja proyek baru itu.”
           
“Aku sudah menandatangani kontrak kerja banyak orang, mereka akan menganggur tanpa proyek ini. Mereka kan juga butuh pendapatan."
           
“Kau selalu seperti itu, kau terlalu baik pada semua orang Adrian! Bayangkan kalau perusahaan kita hancur hanya karena kau ingin mempertahankan proyek C…”
           
“Perusahaan tidak akan hancur dengan berdirinya satu proyek baru. Malah kalau proyek ini terbangun, akan menjadi bantuan yang sangat besar bagi perusahaan.” Keheningan meliputi meja makan. Thomas sama sekali tidak mengerti apa yang orang tuanya bicarakan. Selalu seperti ini! Batin Thomas dalam hati. Yang orang tuanya bicarakan hanyalah pekerjaan, pekerjaan, dan pekerjaan.

Keheningan masih meliputi selama beberapa lama. Thomas ingin membuka percakapan, tiba-tiba ada satu ide terbesit di otaknya.
           
“Ma, pa. Ulangan kemaren aku dapet nilai paling jelek.” Ya, bohong. Orang ulangan terakhir Thomas mendapatkan nilai sempurna. Mendengar itu, Miranda mendelik kesal.
           
“Lihat itu Adrian, kau bahkan tidak bisa mendidik anakmu dengan benar! Didik anakmu dulu, baru pikirkan orang-orang yang tak bisa bekerja itu.”
           
“Setidaknya aku melihat rapotnya tahun kemaren, sedangkan kau? Apa yang kau lakukan?”
          

Selalu begini!!! Aaargghhh….Orang dewasa. Ada saja yang mereka ributkan! Batin Thomas. Aku muak!

.  .  .

           

Miranda sedang mandi busa. Di depannya ada meja khusus untuk membaca. Miranda memalingkan wajahnya ke jendela yang menghadapkannya pada bintang-bintang dibumi, yang tak lain adalah lampu-lampu gedung dan lampu jalanan. Miranda bertanya pada dirinya sendiri, kenapa dirinya dan Adrian terus bertengkar? Memang, orang tua Adrian yang dulu memegang perusahaan ini telah sepakat dengan orang tua Miranda yang hanyalah pemilik toko roti, supaya mereka dijodohkan.

Tapi saat masa-masa pendekatan, Miranda dan Adrian benar-benar mencintai satu sama lain, kayak fit gitu. Tapi sekarang, entah kenapa selalu saja ada yang mereka ributkan.

Miranda menghela nafas, ia menatap langit-langit. Enak ya jadi anak kecil. Tugasnya hanya tinggal belajar dan kalau ada masalah, akhir-akhirnya pasti ketahuan guru dan cring! Masalah selesai! Begitu pikir Miranda. Apa memang begitu kenyataannya? Sepertinya tidak selalu begitu…

.  .  .

Keesokan harinya, Thomas bercerita tentang kesibukan orang tuanya kepada Kenneth karena Brian tidak masuk pada hari itu. Kanitha dan Rachel ikut mendengarkan karena mereka sedang tidak tahu mau ngapain.

           

“Yaaa.. Kalo boleh jujur, aku nggak bisa bantu apa-apa.” sahut Kanitha. Kenneth tersenyum. “Kenapa lu nggak jelek-jelekin nilai lu? Nanti kan ortu bakal dipanggil sekolah?”
           
“Tapi kan sayang Ken, Thomas udah les ini-itu untuk nilainya!”sahut Kanitha yang sudah mendengar daftar les-nya Thomas.
           
“Iya, Kanitha betul.” Thomas menghela nafas. “Sudalah, ini masalahku. Aku cuma curhat kok.”
           
“Yee..”Kanitha bicara “Tujuan curhat kan untuk meminta bantuan?”
           
“Gini lho temen-temen. Anak-anak lain pada bilang ‘Thomas enak ya nilainya bagus’. Guru-guru pun bilang ‘Tingkatkan terus prestasimu, orang tuamu pasti bangga’. Tapi orang tuaku tidak ada waktu untuk bangga. Yang membuat nilai-nilaiku bagus itu adalah les. Dan les-les itu dibiayai pakai uang. Dan uang didapat dari pekerjaan. Pekerjaan menyita waktu sehingga pada akhirnya tidak ada yang punya waktu untuk bangga dengan nilaiku.” Keheningan meliputi mereka hingga Kenneth bicara. “Wow, ribet ya…”
           
“Tapi setidaknya meleka melihat nilai rapotmu kan?”Tanya Rachel.
           
“Yang ambil rapot selalu Pak Zam. Kalian tahu Pak Zam kan?” semuanya mengangguk serempak. Mereka semua menyukai Pak Zam kerena keperibadiannya yang terbuka dan ceria namun tidak mengurangi wibawa seorang tua.
           
“Ah, aku tahu!” Kenneth tiba-tiba berteriak. “Waktu kelas empat, gue kebanyakan bolos sehingga orang tua gue harus dipanggil. Kebetulan mereka sedang pergi keluar kota untuk beberapa minggu, jadi yang wakilin kakak iparku. Guru BK kita, Bu Eva, tidak menerima dan rela menunggu mereka pulang hanya untuk berbicara pada mereka!” Kenneth mengambil nafas sejenak lalu melanjutkan. “Thomas, kan lu udah les sebanyak itu, nilai lu ngga bakalan jeblok walau membolos pelajaran. Dan…” sebelum Keneth melanjutkan, Kanitha menyela. “Dengan membolos pelajaran sampai batas tertentu, orang tuanya akan dipanggil!”
           
“Bingo!” Kenneth mengedipkan mata pada Kanitha yang dibalas dengan senyuman. Thomas berpikir, benar juga ya? Nilai-nilainya masih akan melambung tinggi walau bolos sekali dua kali.
           
“Aku nggak setuju.” Rachel buka suara, “Kenapa harus dengan membolos, kau kan masih bisa menyiapkan hadiah kejutan atau hadiah ulang tahun untuk orang tuamu?”
           
“Ya ampun  Rachel..” Kenneth berkata dengan mimik disabar-sabarkan. “Orang tua Thomas tidak akan mengerti kalau dengan cara begitu! Thomas, bagaimana kalau habis ini kita bolos? Kebetulan hari ini gue udah merencanakan bolos dengan teman-teman lain. Hanya tinggal tiga pelajaran lagi kan?”
           
“Iya sih,” Thomas akhirnya bicara juga. “Tiga pelajaran terakhir, matematika, sejarah, dan ilmu sosial. Matematika, aku sudah menguasai materi yang akan dipelajari siang ini. Kalalu sejarah, semuanya tidur jadi harus dipelajari dirumah, artinya sama saja masuk kelas atau tidak. Sedangkan ilmu sosial hanya tinggal pakai logika. Oke deh, kita bolos abis ini!” Thomas menyetujui usul Kenneth.
           
“Tidak bisa!” Rachel bicara lagi. “Kenneth, kalau kamu mau jadi anak nakal, jangan bawa-bawa orang kan….”
           
“Tidak apa-apa Rachel.” Kalimat Rachel disela oleh Thomas. “Ini hanya sampai orangtuaku memperhatikan ku.”
           
“Tapi,”Rachel sudah tak bisa berkata-kata lagi. Bisa apa dia kalau Thomasnya sendiri mau membolos?
           
“Lagian. Siapa lu, nyuruh-nyuruh orang?”Kenneth menarik pipinya kebawah sambil menjulurkan lidah.
           
Istirahat telah selesai, Kenneth langsung menarik Thomas ke gudang belakang sekolah. Disana, teman-teman Kenneth sudah menunggu. Ada Dave, Raphael, dan Kenny. Dave yang bobot tubuhnya dua kali lipat dari anak biasa itu sangat terkenal pemarah dan sensitif pada sindiran. Raphael terkenal sebagai gamer sejati. Kalau ada apa-apa yang memerlukan strategi, Raphael pasti maju, apalagi kalau strategi perang. Dan terakhir, Kenny. Anak perempuan berambut pendek dan terkenal tomboy. Kenny selalu mengeluarkan apa yang ada di pikirannya tanpa berpikir dahulu dan ia tak sungkan mengucapkan kata-kata menusuk. Tak heran haters Kenny kian hari kian banyak.
           
Raphael melotot ketika melihat Kenneth dateng dengan Thomas.
           
“Kenapa lu ajak-ajak anak teladan?” sahut Dave yang langsung to the point.
           
“Tenang. dia nggak bakal lapor ke guru kok.” sahut Kenneth tenang, “Dia hanya ingin have fun.”

PERHATIAN!Where stories live. Discover now