10

1.2K 76 1
                                    

Deon berjalan perlahan, seperti tertatih, seperti berusaha menyeret dirinya sendiri ke arah seorang gadis berambut sebahu. Sang gadis tengah tersedu, matanya sembab, wajahnya pucat, bahkan keseluruhan penampilannya acak-acakan.

Saat Deon sampai tepat di depan gadis itu, ia sedikit ragu untuk bersuara. Sang gadis bahkan tak menyadari keberadaannya, terlalu sibuk menangis di atas gundukan tanah bertabur bunga segar.

“H-hai.” Deon akhirnya memutuskan untuk bersuara. Serak, lemas, tanpa harapan. Suara yang menyedihkan, batin Deon.

Sang gadis menoleh pelan. Setelah ia menyadari siapa pria yang barusan menyapanya, ekspresinya berubah geram. Alisnya tertarik ke bawah, namun kedua netranya memancarkan kesedihan yang teramat dalam. Campuran yang menyayat hati.

“Lo–lo Deon, kan? Brengsek lo. Sialan. Pengecut. Bahkan kata banci kebagusan buat lo. Lo–lo–AH! Gue gak mau maki-maki lo di hadapan Nana. Gue bakal ninggalin lo sendiri sama dia. Silahkan meratapi kebodohan lo sepuasnya.” Lalu, gadis itu pergi.

Dan Deon ditinggal sendiri.

Perlahan, Deon mendekat ke arah gundukan tanah tersebut, berjongkok di sebelah batu nisannya.

Reina Darshwana Handoko

Hanya itu yang dapat Deon baca. Matanya terlalu berair dan pandangannya terlalu buram untuk membaca hal-hal lain di bawahnya. Reina. Na. Nana.

Dan tanpa laki-laki itu sadari, ia tengah terisak, seperti anak kecil yang hilang di tengah-tengah kerumunan orang. Ia memang hilang. Tak ada Nana, tak ada Nathan, tak ada siapapun.

Kemudian, Deon teringat akan surat dari Nana yang tadi Nathan beri padanya. Deon merogoh saku jaketnya dengan tangan yang bergetar. Saat surat itu di tangannya, diamatinya surat itu. Amplopnya berwarna pink pucat dan tersegel rapi. Dibukanya segel amplop tersebut, kemudian dibacanya isi surat yang terdapat di dalamnya.

Halo, Deon! Apa kabar? Kita udah beberapa hari gak ngomong, kan? Aku khawatir banget sama kamu. Semoga kamu gak apa-apa. Ah, pembukaan suratnya terlalu gimana gitu, ya? Hahaha. Itu bukan basa-basi, loh. Aku serius khawatir. Btw, ini terakhir kalinya aku bisa ngomong sama kamu. Dengan surat inilah kamu bakal ingat aku. Jadi, aku bakal berusaha sebaik mungkin ngejelasin semuanya di sini. Tentang aku, kamu, dan kita. Tentu saja, dari sudut pandangku.

Aku sakit, Deon. Fisik aku lemah dari kecil. Dan, beberapa tahun lalu, aku didiagnosis terkena... suatu penyakit yang lebih baik gak usah aku sebutkan. Maaf, ya, aku gak ngasih tau kamu tentang ini. Aku malu, Deon. Kamu seharusnya bersama perempuan yang sehat, yang kuat, yang bisa nemanin kamu ke mana aja, yang bisa melangkah bersamamu, yang bisa berada di sampingmu untuk jangka waktu yang lama. Dan, Deon, aku malu akan kenyataan bahwa aku bukanlah perempuan itu. Aku malu, dan sedih, dan marah. Tentu saja, pada diriku sendiri, dan bukan sama kamu. Kalau aja aku sadar aku sakit lebih awal, kalau aja dulu aku mau berusaha sembuh, mungkin kita masih bisa sama-sama. Mungkin aku masih bisa liat senyum kamu, denger suara kamu, pegang tangan kamu. Tapi, waktu itu jahat, Deon. Karena waktu menolak untuk diputar kembali, atau berhenti, atau dipercepat. Padahal, kalau aku bisa memutar waktu, aku pengen kembali ke dua tahun lalu, dan berusaha sembuh. Padahal, kalau aku bisa menghentikan waktu, aku bisa selalu lihat senyum kamu. Padahal, kalau aku bisa mempercepat waktu, aku bisa langsung lihat kamu bahagia setelah kepergian aku. Aku gak tahan bayangin kamu sedih, Deon.

Di titik ini, Deon telah menangis sejadi-jadinya. Bahunya bergetar, dan isakan-isakan menyedihkan terdengar dari mulutnya.

Tapi, aku tahu itu semua gak mungkin. Itu adalah permintaan yang egois. Dan aku sadar selama ini aku telah menjadi seorang yang egois. Yang benar-benar aku inginkan, Deon, adalah melihat kamu bahagia, walaupun bukan karena aku. Tolong senyum, Deon. Senyum kamu itu indah. Kamu adalah yang pertama dan terakhir buat aku. Aku cinta kamu kemarin, dan sekarang, dan selamanya.

Jadi, sampai di sini aja, ya? Jangan lupa makan, Deon. Rajin-rajin berobat. Semoga kamu cepat sembuh. Perbaiki persahabatan kamu sama Nathan. Temukan perempuan lain untuk menggantikan aku di sisimu. Bahagiakan dia. Buat dia tersenyum. Buat dirimu sendiri tersenyum. Hidup ini terlalu singkat untuk diratapi. Percayalah, aku tau.

Reina, atau yang kamu kenal dengan nama Nana.

Deon kini telah berhenti menangis. Ia hanya terisak-isak kecil, terduduk di sebelah batu nisan Nana, memeluknya. Ia tengah berbisik ke batu nisan itu, menciuminya, seakan itu adalah Nana.

“Maafin aku maafin aku maafin aku maafin aku maafin aku maafin aku maafin aku. Maafin aku, Nana. Aku minta maaf. Aku sayang sama kamu. Maaf. Maaf. Maaf.”

Tak ia sadari, seorang gadis tengah berdiri di sampingnya. Sang gadis berambut sebahu, teman Nana. Gadis itu ikut berjongkok di sebelah Deon, mengusap bahunya iba. Lalu, ia menarik Deon ke pelukannya.

“Nana itu sahabat gue,” bisik sang gadis. “Gue juga sedih akan kepergian dia. Gue paham perasaan lo. Jangan nangis terus, Nana bakal sedih liatnya.”

“Maafin Nana, ya, Deon,” lanjutnya. “Dia gak bisa kasih tau lo nama lengkapnya, karena kata dia lo bisa dengan mudah nyari dia di rumah sakit yang lo datangin buat kemo. Dia gak bisa nerima ajakan lo buat jalan bareng, karena dia gak bakal kuat. Dia juga gak bisa ngajak lo ke rumahnya, karena lo bakal ngeliat banyak benda yang berhubungan dengan penyakit dia. Maafin Nana, Deon. Maafin dia.”

Deon hanya mengangguk kecil, tak mampu berkata-kata lagi. Langitnya begitu cerah, seakan-akan mengejek-ejek Deon yang dunianya baru saja runtuh. Ah, tetapi, bukankah Deon memang pantas mendapatkannya?

FALLINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang