Enam Belas

33.2K 4.4K 258
                                    

Seperti biasa, cek typo, ya. Masih betebaran karena belum sempat disunting. langsung di-posting setelah ditulis. Oh ya, mulai part mendatang, cerita akan  di-private khusus buat follower. Jadi yang belum follow, you know what you have to do, guys. Hahaha... modus banget, ya. Oh ya, sebelum lupa, besok aku akan liburan ke Makassar. Nengok kampung halaman Pak Suami. Yang orang Makassar mana??? Tunjuk jari, dong! 

**

Jakarta, Satu tahun kemudian...

Ini hari pertama, jadi Dara sedikit gugup. Dia sudah duduk di kubikel yang ditunjukkan untuknya, tapi belum melakukan apa pun. Laptopnya bahkan belum keluar dari tas. Kotak berisi beberapa barang keperluannya juga masih tertutup rapat.

Dara mengembuskan napas panjang-panjang. Ini benar-benar awal yang baru. Dia belum sepenuhnya yakin atas keputusan ini, tapi dia tidak bisa melangkah mundur. Tidak sekarang. Sudah terlambat untuk berpikir kembali.

Dua bulan lalu Bu Santi memberitahu tentang kantor pusat yang yang membutuhkan tenaga, dan menanyakan pada Dara apakah berniat mengajukan diri untuk mengisi lowongan itu. Dia tidak akan serta merta diterima karena akan ada seleksi. Perusahaan tempatnya bekerja cukup besar dan memiliki cabang di beberapa kota besar di tanah air. Pasti banyak karyawan dari kantor cabang lain yang akan mengajukan diri mengisi posisi itu. Pindah ke kantor pusat boleh dibilang promosi luar biasa. Tidak mudah untuk mendapatkan salah satu kursi kosong di sana.

Dara menerimanya karena tidak punya alasan untuk tetap tinggal di Makassar. Dia berada di Kota Daeng itu setamat SMU karena mengikuti salah seorang adik Mama yang bekerja di sana. Tantenya itu sudah pindah kembali ke Surabaya mengikuti suaminya yang ditugaskan di sana dua tahun lalu.

Setelah melalui tahap seleksi bulan lalu, Dara menerima email yang mengatakan diterima untuk bekerja di kantor pusat. Dan di sinilah dia sekarang. Kembali ke ibu kota. Ke tempat di mana dia dan Mama mengukir begitu banyak kenangan. Tempat di mana perempuan yang sudah memberikan semua hidup hanya untuknya itu dimakamkan. Makam yang untuk pertama kali dia kunjungi minggu lalu saat tiba di Jakarta.

Bertemu nisan Mama sangat emosional. Dara merasa Mama ada dan mengawasinya di sana. Menyambut semua permintaan maafnya dengan sukacita. Butuh keberanian yang luar biasa untuk bisa berjongkok di depan tanah yang menyelimuti Mama bertahun-tahun, tapi akhirnya Dara bisa melakukannya. Dia benar-benar sudah berdamai dengan masa lalunya. Meskipun sambil menyusut mata, tapi dia bisa meninggalkan makam Mama dengan senyum di bibir.

"Hei!" Dara merasa lengannya dicolek. Dia menoleh ke sebelah kanan kubikelnya dan mendapati seorang wanita di dekatnya tersenyum. "Kamu anak baru yang dari Makassar itu?"

Dara mengangguk dan membalas senyumnya. Tangannya segera terulur. "Dara."

"Lusi." Dia menjabat tangan Dara. "Asli Makassar?"

"Surabaya." Dara menyebut tempat kelahiran ibunya. Padahal dia hanya tinggal untuk menyelesaikan SMU di sana. Sebagian besar hidupnya dihabiskan di Jakarta. Kemudian di Makassar selama kuliah dan bekerja. Tapi menyebutkan semua itu hanya akan memperpanjang percakapan. Dia ke tempat ini untuk bekerja, bukan ngobrol.

"Sudah tahu siapa ketua timmu?"

Dara sudah diberitahu tadi. "Aku di tim Ibu Nadine."

Senyum Lusi makin lebar. "Wah, kita satu tim. Kita sedang mengerjakan apartemen di daerah Kemang. Ibu Nadine keras tapi pekerjaannya sempurna."

Dia (Yang Kembali)- TERBIT               Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang