Empat

34.9K 4.2K 65
                                    

Bantu cek typo, ya. Makasih.

**

DARA berpikir. Pandang dan dalam. Lalu memutuskan. Dia tidak tahu ini akan baik atau buruk, tapi dia harus melakukannya. Dia tidak akan lari lagi. Tidak akan membiarkan laki-laki itu mengambil alih ketenteramannya. Pertemuan ini mungkin suatu pertanda. Bahwa dia harus berhadapan dengan hantu-hantu masa lalunya. Sudah saatnya mengumpulkan keberanian dari remahan kepercayaan diri yang tersisa.

Ya, dia tidak akan berhenti bekerja. Dia akan tinggal. Dia tidak akan menghindar. Bukan dia yang seharusnya bersembunyi. Kalau dia benar belum sembuh, kehadiran laki-laki itu mungkin bisa membantunya menemukan dirinya sendiri. Mungkin mimpi buruknya perlahan akan memudar karena dia akan menghadapinya di dunia nyata. Pelan tapi pasti, dia akan mengatasi detak jantungnya yang berpacu cepat, tangannya yang gemetar, keringatnya yang mengucur saat melihat laki-laki itu. Kalau dia benar-benar bisa mengatasinya, dia akan menemukan dirinya yang dulu. Meskipun ada beberapa hal yang sudah hilang tidak akan kembali lagi.

Berbekal keyakinan itu, Dara lalu masuk kantor sebelum cutinya habis. Dia takut pikirannya akan berubah kalau tinggal lebih lama di rumah. Semakin cepat dia bertemu laki-laki itu, proses menemukan kepercayaan dirinya semakin cepat pula. Meskipun jelas tidak akan mudah. Tapi semua langkah awal saat mengerjakan sesuatu memang sulit, kan?

"Lho, kok sudah masuk?" tegur Bu Santi saat melihat Dara berdiri di dekat pintu masuk ruangannya dengan gelas kertas kopi di tangan. "Cutimu belum habis, kan?"

Dara meringis. "Saya tidak jadi keluar kota, Bu. Dua hari cukup untuk istirahat."

Bu Sati mengangguk. Dia sudah berjalan beberapa langkah sebelum berbalik. "Oh ya, mengenai proyek yang di Pare-Pare itu. Sebentar temui Pak Satya. Dia mau tahu tentang konsepnya. Kamu lebih tahu daripada Raihan, kan?"

Gelas di tangan Dara bergetar. Beberapa tetes isinya tumpah ke lantai. Sial. Dia sudah memantapkan niat, tapi kenapa nyalinya langsung ciut hanya karena mendengar dia harus menemui laki-laki itu? Dara mendesah. Mungkin dia terlalu cepat memutuskan. Mungkin dia belum siap untuk ini. Mungkin dia harus menunggu. Mungkin...

Tapi Dara tahu kalau tidak pernah ada waktu yang tepat untuk berhadapan dengan masa lalu. Pilihannya hanyalah berani atau tidak. Itu saja.

**

DARA mengawasi tetes air yang turun berkejaran dari langit. Dia selalu suka hujan. Tapi sekarang hujannya sudah terlalu lama. Mama tadi menelepon dan menyuruhnya menunggu di sekolah untuk dijemput karena akan pulang lebih cepat dari kantor. Mama akan berangkat keluar kota besok dan mereka akan belanja sebelum pulang ke rumah. Tapi baru saja Mama membatalkan janji itu karena bosnya meminta Mama mengerjakan sesuatu. Dia menyuruh Dara pulang lebih dulu.

Masalahnya Dara tidak membawa payung. Teman-temannya sudah pulang lebih dulu sehingga tidak ada yang bisa ditumpangi payung sampai ke halte. Dia tidak keberatan basah, tapi ranselnya tidak kedap air. Buku-bukunya pasti basah kalau dia memaksakan diri menerobos hujan.

Dara bosan menunggu dalam kelas. Dia memutuskan menuju pintu gerbang. Perutnya sudah berbunyi. Biasanya dia membawa sandwich untuk bekal karena tidak suka berjejalan di kantin. Tapi tadi pagi dia terlambat bangun karena berkencan dengan Jane Austeen. Kembali ke masa lalu untuk bertemu Tuan Darcy.

Tak sadar Dara tersenyum. Pride and Prejudice. Alurnya lambat, tapi ceritanya manis. Dia bisa membayangkan model pakaian di era itu dengan baik. Keanggunan dan tata karma ala bangsawan di abad lampau. Pasti tidak mudah hidup di masa itu.

Dia (Yang Kembali)- TERBIT               Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang