Aku Mau

13.8K 2.1K 240
                                    


Monggo, dicemil dulu Abi-nya. :D


____________________________________


"Bi, Bi!" Dido mengguncang-guncang bahu Abi keras. Abi bergeming. Tidurnya tampak nyenyak sekali. Mulutnya sampai menganga. Untung nggak sampai ngiler. Belum.

"Bi! Tangio, Bi! Digolek'i kuwi lho..." Dido kembali mengguncang bahu Abi, lebih keras. Amben tempat Abi tidur sampai ikut bergoyang-goyang. Abi mengerang pelan.

"Opo se, Dooo... Aku ngantuk, cuk! Tak turu sik dilut..." omel Abi dengan mata terpejam. Dia ngantuk sekali. Sejak pagi belum sempat tidur karena ada kuliah.

"Mmm, sudahlah, Do. Biarkan saja. Nanti saya kesini lagi," ujar Campa pelan. Telinga Abi langsung berfungsi sempurna saat mendengar suara lembut yang sangat dikenalnya. Tapi... Abi justru semakin enggan membuka mata, walaupun sekarang ia sudah sepenuhnya terjaga. Abi sedang malas bertemu Campa. Masih BT.

"Iya, Bu. Nanti saya suruh Abi menemui Ibu kalau dia sudah bangun," ujar Dido sopan.

"Terima kasih ya, Do," jawab Campa lirih, lalu dia berlalu pergi. Campa tidak bodoh. Dia tahu, Abi sudah bangun. Tapi dia sengaja pura-pura tidur. Dan itu membuat Campa merasa terganggu. Merana, lebih tepatnya. Abi kenapa? Tak disangka, Abi berhasil membuat Campa belingsatan seperti ini. Jangan-jangan benar, Abi sudah lelah. Seperti Hayati. Oh, tidaak!

"Bu Campa?"

Campa kaget. Tiba-tiba saja di depannya sudah ada perempuan cantik separuh baya dengan dandanan rapi. Bu Ndari. Iya, Ibu Prof. Gayatri Sasisendari, Ph.D. Ibu Dekan yang terhormat. Mamanya Abi. Campa tersenyum gugup.

"Eh, Ibu. Selamat siang," suara Campa bergetar. Entah kenapa. Walaupun tampak lembut keibuan, aura Bu Ndari memang bikin keder. Apalagi buat orang-orang yang ketahuan punya salah. Mengencani brondong yang kebetulan merangkap sebagai anak si Ibu, misalnya.

"Siang, Bu Campa. Saya baru saja mau ke ruang dosen. Mencari Bu Campa. Bu Campa ada waktu sebentar? Ada yang ingin saya bicarakan," Bu Ndari tersenyum. Senyumnya ramah sebenarnya, tapi di mata Campa senyum itu begitu mengerikan. Oh, astaga! Jangan-jangan ketahuan kalau Campa sering keluar sama Abi!

"Euh... Saya... Saya ada jam mengajar, Bu. Jam 1," suara Campa terdengar semakin gemetar.

"Oh! Baiklah, Bu. Nanti saja kalau begitu. Agak panjang soalnya, yang ingin saya bicarakan. Kapan kira-kira Bu Campa longgar?" tanya Bu Ndari lagi.

Campa mengerjapkan mata. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Sumpah, Campa ketakutan sekali!

"Bu Campa sakit? Bu Campa pucat sekali," Bu Ndari menatap Campa lekat, terlihat cemas.

"Tidak Bu, saya baik-baik saja kok," ujar Campa lirih.

"Kalau memang sakit, sebaiknya pulang saja, Bu. Daripada kenapa-kenapa. Nanti biar diantarkan sama sopir fakultas," ujar Bu Ndari lagi.

"Tidak, Bu. Saya tidak apa-apa kok. Sungguh," Campa malah semakin panik.

Setelah susah payah meyakinkan Bu Ndari yang tidak sepenuhnya teryakinkan, Campa berjalan gontai ke ruang dosen dan terduduk lemas di kursinya. Campa menundukkan kepala dan menempelkan dahinya ke meja. Ya Tuhan. Mampus. Pacaran saja belum, sudah ketahuan! Rasanya hati Campa seperti diremas-remas. Kesal, kecewa, cemas, bercampur jadi satu.

Cinta pertama Campa sudah harus berakhir bahkan sebelum semuanya sempat dimulai.


***

KENANGA (n)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang