I Love You, Yash (1)

55.3K 2.6K 40
                                    

Gadis mungil berambut panjang hingga sepinggang itu mengusap air matanya. Berkali-kali ia memohon pada ayah tirinya untuk membawanya pulang. Tapi si ayah mengabaikannya dan justru mengancamnya.
Ia terisak pilu merasakan kepahitan hidup.

Kulihat tubuh ringkih gadis itu berguncang makin keras ketika dengan seringai kepuasan, ayah tirinya menerima bergepok-gepok ratusan, lalu melenggang pergi tanpa rasa iba sedikitpun pada gadis itu.

Aku menggeram marah. Laki-laki itu tidak pantas disebut ayah.

Alka membawa gadis itu ke kamar yang sudah disiapkannya untuk gadis itu, meninggalkannya merenungi perjalanan hidupnya yang pahit.

"Gadis itu seperti berlian dalam lumpur. Kemilaunya tertutup oleh suramnya kenyataan bahwa ia hanyalah jaminan hutang sang ayah tiri yang sangat doyan berjudi dan foya-foya. Kau memang selalu jeli," suara Alka menggangguku.

Aku menoleh malas. Kudapati wajah Alka memandangku dengan kekaguman yang tidak disembunyikan.
Setiap orang pasti jerih melihatnya. Pipi Alka yang mempunyai bekas luka memanjang membuat orang-orang takut melihatnya. Postur tubuhnya yang tinggi besar menunjang penampilannya.
Setiap orang yang melihatnya pasti mempunyai pandangan dan pikiran negatif terhadapnya.
Namun pada kenyataannya, Alka adalah seorang laki-laki yang berhati lembut. Hanya aku dan Hamika yang tau bagaimana Alka yang sesungguhnya.

"Jam berapa Mika datang?" tanyaku mengabaikan pujiannya yang ia lontarkan padaku.

"Mungkin sebentar lagi. Kau mau pergi sekarang ?" tanyanya ingin tau.

"Sebentar lagi. Kau benar mau ikut? Tidak ingin berduaan dengan Mika?" tanyaku memandangnya sekedar ingin menggodanya.
Dan benar, wajah Alka memerah. Lalu perlahan ia menggeleng jengah.

"Tidak. Aku akan tetap ikut denganmu," jawabnya masih dengan wajah meronanya.

"Yakin kau tidak menyesal?" ulangku memastikan dengan sedikit godaan.

"Dia pasti akan lebih memilihmu daripada melepas rindunya padaku," Hamika berdiri di dekat pintu masuk sambil meletakkan tas besarnya.
Sedetik kemudian ia sudah berlari menghambur memeluk Alka. Gadis tidak tau malu itu mencium Alka dengan ganas di hadapanku.

"Ehm. Kau masih ingin ikut denganku?" aku menekan tawa geliku.

Alka sedikit menjauhkan tubuhnya dari pelukan Hamika.

"A...aku ikut," jawabnya terengah-engah. Ciuman Hamika masih berbekas di bibirnya yang sedikit membengkak. Noda lipstiknya masih jelas terlihat.

"Kalau begitu cepatlah," kataku meredam tawa yang nyaris tak bisa kutahan.

Alka mengangguk membetulkan jas-nya dan melangkah mendekatiku, meninggalkan Hamika yang cemberut karena Alka lebih memilih ikut denganku daripada menemaninya.

Aku mengetatkan gerahamku menahan desakan tawa yang ingin meluap.

"Sebaiknya kau bercermin, Alka. Apa kau pantas ikut denganku?" tanyaku menekan suaraku.

"Maksudmu, kau malu jika aku ikut denganmu?" gusarnya. Ada sorot kecewa di matanya.

"Sebaiknya kau bercermin, Alka," ulangku.

"Wajahku memang seperti ini. Bahkan ribuan kali aku bercermin akan tetap begini," katanya sedikit keras. Kegusarannya makin nampak.

Kutarik lengannya dan kuhadapkan pada cermin besar di dekat meja sudut.

Matanya membelalak melihat bayangannya di cermin. Wajahnya penuh noda lipstik milik Hamika.

"Nah, apa kau masih berkeras ikut denganku dengan wajah seperti habis berbuat mesum begitu?" ejekku menyeringai, melirik Hamika yang merona sambil mempertahankan wajah kesalnya.

I LOVE YOU, YASH! (Repost)Where stories live. Discover now