0' - Kick Off

24.4K 2.5K 79
                                    

Prolog

"Cha, kamu nggak boleh seenak jidat kamu disana nanti. Inget, disana ada aturan, kamu harus nurut, ok? Bersikap baik sama mereka, itu wajib. Oh ya, kalau ngomong nggak usah pake teriak-teriak, kamu bukan tinggal di tengah gurun. Suara kamu itu bising, bisa ganggu ketenangan hidup orang..."

Nggak pernah terbesit dalam benak Sacha untuk jadi anak durhaka karena dia tahu, Mama, orang tua satu-satunya yang ia punya sekarang sangat berperan penting dalam kehidupannya. Walaupun Sacha pernah sekali dua kali menaikkan suaranya di depan Mamanya, membentak beliau secara nggak sadar, tapi di dalam hati Sacha, dia menyimpan beribu kasih sayang kepada orang yang telah melahirkannya itu.

Sacha nggak bohong. Tapi, mengingat perdebatan kecil beberapa hari lalu yang membuatnya berakhir disini dan perintah-bernada-omelan yang keluar dari mulut Mamanya sekarang lantas memancing sikap pembangkang keluar dari diri Sacha. Kalau itu sudah terjadi, apakah Mamanya akan mengutuknya jadi batu?

Sacha geleng-geleng kepalanya kecil, lebih baik dia fokus pada layar hapenya yang menampilkan highlight pertandingan sepakbola antara klub bola kesayangannya, FC Barcelona, daripada menyahuti omelan Mamanya dengan nada kesal.

Dikutuk jadi batu adalah hal yang nggak pernah dia harapkan terjadi dalam hidupnya. Walaupun dia suka pelajaran sejarah karena dia notabene-nya anak IPS, tapi dia nggak mau jadi sejarah. Cewek yang dikutuk Mamanya jadi batu alias Malin Kundang Season 2. Hah! Sejarah yang mengerikan.

"Denger nggak, Cha?" tanya Mamanya untuk yang sekian kalinya.

"Denger kok, Ma."

"Kamu tuh, orang tua lagi ngomong masa sibuk main hape?"

Sacha melirik Mamanya sambil menyimpan ponselnya ke dalam tas, kemudian dia memaksakan sebuah senyum lebar.

"Mama tuh udah ngomong gitu berapa kali tahu, Sacha ngerti kok, ngerti banget malahan."

"Coba ulangin apa aja yang Mama omongin selama kita di taksi ini?" tantang Mamanya.

Sacha memasang wajah tak habis pikir, kemudian dia mulai menghitung dengan jarinya seraya mengulang semua perintah yang sebelumnya diucapkan Mamanya selama mereka akan tinggal di rumah Tante Laras nanti.

Setelah menyelesaikannya dengan baik, Mama langsung menyambutnya dengan senyum puas.

"Bentar lagi kita nyampe nih, Cha," ucap Mama semangat.

Dalam hati, Sacha mulai mengerang frustasi.

"Inget ya, kamu harus jadi anak baik," ucap Mamanya untuk yang ke seribu kalinya.

Sacha melemparkan pandangan keluar jendela, kira-kira kalau dia melompat keluar mobil dari jendela ini, dia bakal mati nggak ya?

Sacha tuh sebenernya sebel banget. Hatinya ini dari tadi, ralat, dari semenjak tercetusnya rencana kepindahan mereka dari mulut Mamanya, terus berteriak protes. Sacha nggak suka dengan keputusan itu. Tapi Sacha nggak punya kuasa untuk menolak.

Sebetulnya keputusan pindah dari Jakarta ke Palembang, kota kelahirannya ini memang sudah direncanakan sejak dulu, Tapi Sacha beneran nggak menyangka bahwa rencana tersebut direalisasikan dalam waktu secepat ini. Ini semua karena Tante Mira alias adik Mama yang menikah dan membawa suaminya untuk tinggal di rumah nenek. Mama Sacha agak terusik dengan keramaian itu. Oleh sebab itu beliau ingin cepat-cepat angkat kaki dari rumah nenek di Jakarta, dan pilihannya jatuh ke rumah yang ada di Palembang. Sungguh kepindahan yang jauh sekali.

Sejak lahir sampai kelas enam SD, Sacha memang tinggal di Palembang. Namun semenjak meninggalnya Papanya, Sacha, Mama dan Bang Satya, memutuskan untuk pindah ke Jakarta, tinggal bersama nenek alias Ibu dari Mama Sacha. Nah semenjak pernikahan Tante Mira, ditambah ajakan Tante Laras untuk merintis usaha cakes dan pastry atau apalah itu namanya, Mama tergiur untuk kembali ke kota kelahiran Sacha ini.

Harusnya itu bukan ide yang buruk mengingat kota tempat dia kembali ini adalah tempat yang sama ketika Sacha tumbuh di masa kanak-kanaknya, hanya saja ide dari Mama feat Tante Laras benar-benar nyaris membuat Sacha nggak bisa tidur nyenyak setiap malam.

Sacha menghela napas gusar.

Tante Laras itu sahabat baik Mama sekaligus pemilik rumah yang berhadapan dengan rumah mereka di Palembang dulu. Nah, berhubung kepindahan ini cukup mendadak (Karena Mama Sacha terpancing rayuan Tante Laras untuk segera membangun bisnis bersama), maka rumah lama yang nggak dihuni nyaris empat tahun lamanya itu belum siap untuk ditinggali. Diperlukan renovasi agar rumah tersebut layak huni.

Nah selama masa renovasi, jadi Sacha dan Mamanya tinggal dimana? Di apartement mewah? Kontrakan sederhana? Menyewa hotel? Atau di kolong jembatan Ampera? Tidak! Karena Mama lagi-lagi kena rayuan Tante Laras. Beliau mau-maunya aja diajak Tante Laras tinggal di rumah mereka.

Menumpang di rumah Tante Laras benar-benar merupakan ide buruk menurut Sacha. Sebenarnya Sacha nggak ada masalah sama sekali dengan Tante Laras ataupun suaminya, Om Haris, seingat Sacha dua orang itu begitu akrab dengan masa kecilnya. Nah, yang jadi masalah itu sebetulnya adalah Virgo, anak kedua dari Tante Laras dan Om Haris.

Sacha mengeja kembali nama itu dalam hatinya. Reaksi yang dia dapat selanjutnya adalah rasa mulas berlebih dalam perutnya. Seolah lambungnya seketika jatuh ke perut. Sacha nggak mengerti bagaimana mekanisme ilmiahnya. Yang jelas bagi Sacha, ini bukan reaksi yang baik bagi dirinya. Seolah seluruh sel dalam tubuh Sacha kompak menolak untuk kembali bertemu apalagi berurusan lagi dengan cowok bernama Virgo itu.

Ah, sejak awal Sacha memang sudah menduga kalau dirinya tak akan siap bertemu lagi dengan cowok itu.

***

Super Big MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang