"Jangan lihat ke belakang, jangan ikuti cahaya biru, dan pagna sama dengan lari," gadis itu menarik napas di sela-sela perkataannya.

Raka menghirup rokoknya lagi, menghembuskan asapnya ke samping. Ia meminta kembali ponselnya yang dari tadi digenggam oleh Nova, mengarahkan senternya ke kiri lalu ke kanan. Di sisi kirinya merupakan pintu besi tempat mereka masuk dan dinding mengapit pintu itu. Raka baru sadar ternyata lorong itu begitu kecil, gelap dan lembab. Udaranya memang terasa bau, tetapi buff yang ia kenakan setidaknya bisa menyaring aroma itu. Memilih jalan ke kiri berarti kembali ke museum. Mengarahkan senternya ke kanan, Raka tak melihat ujung dari lorong itu. Berharap apa dia dengan daya lemah lampu ponsel?

"Kalau ke kiri kita kembali lagi ke museum itu, mau enggak mau kita harus ke sana," Raka menunjuk arah berlawanan.

"Jadi kita benar-benar pergi tanpa Cyrus?"

Raka tidak mengerti mengapa gadis itu terdengar seperti seseorang yang paranoid. "Ya!" Raka memiringkan kepalanya, "Apa kau lebih memilih untuk duduk diam dan hanya menunggu? Yang benar saja."

"Setidaknya lebih aman begitu, 'kan?" Nova memeluk kakinya, tidak menatap Raka sama sekali, "Aku belum pernah ke daerah sini sebelumnya."

"Yeah, apa lagi aku," pemuda itu menghembuskan asap rokok, "Hey, kita tidak tahu berapa lama lagi Cy akan datang, Nov. Aku pribadi enggak mau buang-buang waktu tanpa melakukan apapun. Kita tahu peraturannya. Selama mengikuti itu, seharusnya akan aman 'kan?"

Sedetik, dua detik berlalu. Nova masih tidak menatapnya dan mulutnya tetap bungkam, "Aku lelah, Raka. Kamu jadi ikut repot gara-gara aku. Bagaimana kalau kamu terluka juga? Bagaimana kalau orang-orang tadi berada di luar sana? Bagaimana kalau aku malah menghambat, bukannya menjadi 'pemandu wisata' seperti yang kau bilang?"

Raka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Gemas, ia menghirup rokoknya lagi, "Kau berpikir terlalu jauh! Kalau mencemaskan itu, apa kau mencemaskan orang-orang yang mengejarmu datang dari pintu itu? Bagaimana kalau Cy tidak bisa kembali dan orang-orang itu masuk ke sini untuk mencari kita? Kau kira kau bisa berlari dengan luka di perutmu itu? Jangan bego."

Raka berdiri, menepuk bokongnya yang terasa lembab. Ia memasukkan kembali barang-barang yang tadi dikeluarkan ke dalam tas kemudian mengulurkan tangannya, menunggu Nova untuk menyambut Raka.

"Ayo," ajaknya, "Kalau kau kenapa-kenapa, aku bisa membantu. Praktisnya begitu 'kan?"

Meminta maaf, Nova menyambut tangan Raka. Saking kecilnya, lorong itu tidak cukup jika dua orang berjalan berjajar bersamaan. Raka menyuruh Nova untuk berjalan di depan. Lorong itu terasa dingin dan lembab; terbuat dari batu atau lapisan semen. Raka tak habis pikir kenapa belakangan ia selalu berada di tempat-tempat yang sempit dan gelap. Hal ini pun tak hilang dari kata-kata lorong, lorong, lorong, dan lorong. Ini pertama kalinya Raka begitu ingin melihat matahari lagi.

Sejujurnya, ia tidak tahu bahwa ada ruang bawah tanah di museum itu. Datang ke sana saja baru kali pertamanya. Tidak melihat isinya pun bukan suatu hal yang mengecewakan. Karena Raka lagi-lagi mendapatkan pengalaman luar biasa di luar logika. Raka tersenyum kecil mengingat bagaimana kekacauan yang telah diciptakan Cy dan terbayang berita yang akan beredar di media massa besok pagi.

Kalau dia besok akan kembali, mungkin Raka akan penuh semangat menceritakan kejadian itu kepada teman-temannya. Namun mengingat entah kapan pemuda itu akan kembali, mungkin berita museum yang hancur sudah keburu basi. Meskipun begitu, Raka tidak yakin apakah mereka benar-benar sudah berada di Huva Atma. Pengetahuan nolnya mengenai ruangan itu membuat Raka berasumsi bahwa lorong yang sedang mereka jelajahi bisa jadi merupakan lorong di bawah museum itu sendiri.

Menanyakan keberadaan Huva Atma, Nova jawab dengan telunjuk yang mengacung pada sebuah cahaya biru kecil terbang tak jauh dari mereka. Keluar dari lorong kecil itu, mereka berhadapan dengan terowongan yang lebih besar dan pilihan perjalanan mereka lagi-lagi hanya arah kiri dan kanan. Cahaya itu berkedip pelan layaknya kunang-kunang dan warna biru yang berpendar pun tampak redup.

Down There Is What You Called Floor [END]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz