Kamu dan Hujan by acrizzely

178 16 10
                                    

"Ney!"

Gadis berkuncir satu yang sibuk memandang langit dari jendela kelas menoleh ketika mendengar namanya dipanggil.

"Nggak usah teriak gitu, napa," ujarnya kesal. Ia kembali lagi menatap langit yang sibuk mencurahkan rinai menenangkan. Senyumnya kembali terkembang dan pikirannya melayang entah ke mana.

Rinai hujan basahi aku

Temani sepi yang mengendap

Kala, aku mengingatmu

Dan semua saat manis itu

"Kamu nggak pulang?" tanya sahabatnya lagi.

Ney masih diam, masih di dunianya dengan hujan sebagai penggiring. Suara rintik kecil itu menentramkan hatinya, menenggelamkan suara di sekitar. Atau sebenarnya, Ney yang tak ingin suara lain mengganggu dan fokus pada suara hujan di luar.

Segalanya seperti mimpi

Kujalani hidup sendiri

Andai, waktu berganti

Aku tetap tak'kan berubah

Maya merasa tak diacuhkan pun menarik kunciran Ney, hingga sahabatnya itu mengaduh.

Ney bangkit dan berlari mengejar Maya yang sudah lebih dulu melarikan diri. Tidak lupa ia membawa tas punggungnya dan ikut keluar kelas.

"Maya, ih ngeselin!"

Ney hampir berhasil menggapai tas punggung Maya saat mata bulatnya tak sengaja menangkap objek yang sedari tadi ada di pikirannya. Niatnya membalas keusilan Maya pun lenyap.

Kini kakinya melangkah, membawanya ke arah parkiran sepeda indoor.

"Hi, Kafka," sapanya ramah pada lelaki berambut cepak. Wajah lelaki itu super datar dan super misterius. Tapi entah mengapa, Ney suka melihat tampang anak lelaki yang dipanggilnya Kafka tadi.

"Hm," jawabnya singkat. Dan senyum Ney sudah melebar seperti Joker.

"Mau pulang?" pertanyaan bodoh memang. Hampir seperempat jam lalu bel terakhir berbunyi. Apalagi kalau tidak pulang. Tidak ada eskul dan juga les tambahan hari ini.

Kafka tidak menjawab, malah menjalankan sepedanya menuju pintu gerbang samping. Ney mengikutinya dalam diam, tapi senyum itu masih belum pudar dari wajah manisnya.

Senyum Ney semakin dan semakin melebar, hingga ia rasa sudut-sudut bibirnya hampir mengenai mata. Rasa senangnya membuncah kala Kafka berhenti dan terpaku melihat pemandangan di luar.

"Kita tunggu hujannya reda dulu, baru pulang," katanya. Entah pada Kafka atau pada dirinya sendiri, karena anak lelaki itu tidak menjawab apa lagi menoleh.

Aku selalu bahagia

Saat hujan turun

Karena aku dapat mengenangmu

Untukku sendiri... oohh... ooo

Kafka diam, Ney juga diam. Berdekatan dalam jarak 3 keramik berukuran 40x40 sudah sangat sangat lebih dari cukup bagi Ney. Yang penting, ia dekat dengan Kafka.

Selalu ada cerita

Tersimpan di hatiku

Tentang kau dan hujan

Tentang cinta kita

Yang mengalir, seperti air

"Kamu nggak tahu ya, kalau hujan udah turun?" Ney berujar, memulai pembicaraan dengan si pendiam Kafka.

Beberapa detik dalam keheningan. Ney mengira ia tidak akan mendapat jawaban dari lelaki di sampingnya. Kepalanya pun mulai mencari topik obrolan baru.

"Nggak. Tadi ada latihan basket, kelas Pak Dony kosong. Jadi dipakai buat latihan," jawab Kafka. Ney terbengong mendengar penjelasan Kafka. Dalam hati ia menghitung berapa kata yang paling banyak Kafka ucapkan padanya.

"Ini yang paling banyak," ucapnya dalam hati.

"Oh," hanya itu jawaban Ney. Pantas nggak tahu, latihannya pasti di lapangan basket indoor. Lanjutnya dalam hati. Mereka kembali pada posisi hening.

Kaki Ney mulai terasa pegal. Hampir satu jam berdiri menunggu hujan yang sepertinya tidak berniat reda. Ia melirik Kafka, lelaki itu biasa saja, sama seperti sekitar satu jam yang lalu mereka berdiri di sini.

"Kafka, nunggu di dalam yuk," ajak Ney.

Di pintu samping sekolah mereka masih ada bagian yang tertutupi kanopi sehingga mereka terlindung dari hujan, sayangnya tidak ada bangku di sana.

Tanpa menjawab Kafka mendorong sepedanya kembali masuk ke dalam. Ney cemberut, Kafka berjalan begitu saja meninggalkannya. Mau tak mau gadis itu ikut masuk walau kesal. Kafka memilih duduk di bangku panjang yang tak jauh dari tempatnya memarkirkan sepeda, dan kembali lagi Ney ikut duduk dengan jarak yang cukup jauh, di ujung kursi. Jika saja Kafka bangkit secara tiba-tiba, gadis itu pasti akan jatuh.

Aku selalu bahagia

Saat hujan turun

Karena aku dapat mengenangmu

Untukku sendiri.. oohh... ooo

Aku bisa tersenyum sepanjang hari

Karena hujan pernah menahanmu di sini untukku oohh...

Ney sibuk dengan pemikirannya sendiri dan Kafka sibuk dengan ponselnya. Tidak tahu sudah berapa lama mereka menunggu hujan reda, tapi Ney lucunya tidak merasa keberatan sedikitpun. Tiba-tiba lelaki itu bangkit.

Ney terpekik, lengannya ditarik Kafka sehingga ia ikut berdiri. Ia langsung menoleh marah pada Kafka, jantungnya sudah hampir melompat dari tempatnya.

"Hujannya sudah berhenti," ujar Kafka, membalas tatapan sengit Ney dengan wajah datarnya, sebelum melepas tangan gadis itu dan berjalan menuju sepedanya.

Ney kembali mengikuti Kafka. Kebetulan arah rumah mereka sama. Menjadi alasan kuat Ney untuk mengikuti Kafka setiap hari sepulang sekolah jika ada kesempatan.

Hujan memang sudah berhenti, hanya meninggalkan jejak pada aspal yang mereka lewati dan juga daun-daun. Aroma petrichor mengiringi langkah diam Ney dan Kafka. Tidak tahan juga dalam keheningan, Ney bersenandung. Menyanyikan lagu Hujan milik Utopia. Berpikir hanya dirinya sendiri yang bisa mendengar suaranya.

Aku selalu bahagia

Saat hujan turun

Karena aku dapat mengenangmu

Untukku sendiri.. oohh... ooo

Batu kecil di depannya, Ney tendang pelan. Melangkah sekali, tendang sekali, begitu seterusnya sambil tetap bersenandung. Gadis berkuncir itu merunduk, membiarkan Kafka berjalan lebih dulu. Toh nanti rumah Kafka yang terlebih dahulu kelihatan, lalu sekitar lima rumah lagi, baru rumah Ney. Karena masih sibuk dengan dunianya, gadis itu tidak menyadari Kafka berhenti berjalan.

Aku bisa tersenyum sepanjang hari

Karena hujan pernah menahanmu di sini untukku oohh...

"Aw!" pekiknya terkejut. Kepalanya dijitak lelaki yang berdiri berhadapan dengannya.

"Sakit, Kafka," rajuknya. Gadis ini tidak pernah bisa benar-benar marah dengan lelaki pujaan hatinya.

Ney mengelus kepalanya, wajahnya cemberut melihat Kafka. Tampang lelaki yang tingginya melewati satu kepala Ney memasang wajah membingungkan.

"Kamu bilang apa tadi?"

"Sa-"

"Sebelum aku menjitakmu." Kafka maju selangkah.

"Apa yang kamu katakan, Neysa?"

Tamat.


Song Fiction: KebersamaanWhere stories live. Discover now