10

19.1K 915 3
                                    

Author pov

Sejak hari itu, Lea terus saja diam tanpa mau berbicara sedikit pun dengan Hanzel. Membuat Hanzel terus merasa bersalah, dia sudah mengatakan maaf berulang kali. Tapi tetap saja Lea hanya diam menanggapi ucapan maaf Hanzel.

Yang dipikirkan Lea adalah apa yang terjadi kepada kakaknya hari itu. Dia tidak pernah melepas genggaman nya ke kalung pemberian kakaknya itu.

Seperti hari ini, Hanzel sudah menyiapkan makanan untuk Lea. Walau sebenarnya dia sama sekali tidak yakin jika Lea akan menyukai masakannya itu.

"Tuan..." panggil Bri yang membuat Hanzel terkejut karena terlalu fokus dengan masakannya.

"Ck, ada apa?" tanya Hanzel kesal.

"Itu tuan, kami mendapat info jika kalung nyonya itu ada cipnya." jawab Bri.

"Apa?! Cip?" tanya Hanzel yang terkejut.

"Iya tuan, cip yang bisa membuat polisi datang untuk menyergap kita. Mungkin ini cara yang digunakan oleh kakak nyonya untuk mendapatkan adiknya lagi." jelas Bri.

"Sial!! Ya sudah, biar aku yang mengurus kalung itu nanti." ucap Hanzel.

"Baik tuan."

Bri pun meninggalkan Hanzel, sedangkan Hanzel kembali kepada masakannya. Sambil berfikir untuk mengambil kalung itu dari Lea.

"Baiklah, aku akan mengambil paksa kalung itu." ucap Hanzel dan segera menyelesaikan masakannya dan berjalan menuju kamar Lea.

Hanzel melihat Lea yang sedang menyisir rambutnya dengan membelakanginya. Terlihat Lea jauh lebih seksi bagi Hanzel. Dengan perlahan, Hanzel berjalan mendekati Lea.

Dipeluknya pinggang ramping milik Lea, membuat Lea terkejut dan menjatuhkan sisir yang sedang dia pegang. Tubuh Lea sangat - sangat menegang.

"Tumben, kau menyisir rambutmu?" tanya Hanzel tepat di telinga Lea.

"Itu bukan urusanmu, rambutku sangat kusut akhir - akhir ini." jawab Lea ketus.

"Waw!! Kalungmu bagus juga ya?" tanya Hanzel berpura - pura.

"I - itu kalung dari kakak ku. Dan... Em... Kau... tidak akan mengambilnya kan?" jawab Lea takut - takut.

"Tidak, aku hanya kagum melihatnya." ucap Hanzel.

Dalam hati Lea sangat bersyukur, karena Hanzel tidak akan mengambil kalung itu. Tapi dia sama sekali tidak tahu jika Hanzel punya cara lain untuk mendapatkan kalung itu dari Lea.

"Baiklah, sekarang ayo kita sarapan. Aku membuatkanmu makanan special." ucap Hanzel seakan mengerti raut wajah yang ditunjukkan oleh Lea.

"Memangnya kau bisa memasak?" tanya Lea yang mulai merasa tertarik dengan fakta baru jika Hanzel bisa memasak.

"Tentu saja. Aku yakin kau akan menyukainya. Ayo sekarang kita makan." jawab Hanzel sambil meletakkan piring -piring berisi makanan buatannya.

Hanzel's pov

Ku lihat Lea memakan makanan buatanku dengan ragu tapi tetap lahap. Aku tersenyum kecil menatap dahinya yang sesekali berkerut merasakan rasa makananku.

Tatapanku pun beralih kepada kalung yang bergelayut tenang di leher Lia. Aku akan mengambilnya. Tak peduli jika Lia menolaknya, aku akan tetap mengambilnya.

"Jadi kau percaya bukan, jika makanan buatanku terasa enak?" tanyaku.

"Hmm..." gumamnya.

Hening. Lama setelah sepatah dua patah terucap, kami masih terdiam hingga terdengar suara deheman dari Lea, yang baru saja menyelesaikan makannya.

"Boleh aku bertanya?" tanyanya takut - takut.

"Tentu." jawabku sambil meminum segelas air.

"Kenapa kau melakukan semua ini?"

Keningku berkerut dalam. "Melakukan apa?"

Lea mengangkat kedua bahunya, sambil sesekali mengalihkan pandangannya. "Melakukan semua ini... Maksudku, kau menculikku, lalu... Ya, aku... Aku hanya tidak mengerti, untuk apa kau melakukan semua ini..."

Aku menghembuskan napas perlahan. "Dengar Lea, belum waktunya kau mengetahuinya.... Tapi harus kau tahu bahwa aku jatuh cinta padamu sejak pertama kali."

"Cinta???? Kau bilang cinta??" Dia bertanya dengan nada penuh keraguan. Dan aku tidak bisa menyalahkannya karena itu.

"Iya Lea, aku mencintaimu..." jawabku dengan mantap.

"Kau tidak mencintaiku Hanzel.... Kau terobsesi kepadaku.... Kau hanya dipenuhi oleh obsesi semata...."

Lea's pov

Hanzel mengatakan bahwa dia mencintaiku. Tapi aku tidak percaya begitu saja. Kami bahkan baru bertemu, tidak sampai berminggu - minggu ataupun berbulan - bulan.

Ku lihat Hanzel yang terdiam, seakan memikirkan sesuatu. Keningnya sesekali berkerut. Wajahnya juga terlihat tegang. Kedua telapak tangannya terkepal sempurna. Hingga tiba - tiba wajahnya terangkat dan menatapku tajam.

Dia kembali terlihat menyeramkan sekarang. Dengan segera dia berdiri dan melangkahkan kakinya dengan cepat ke arahku. Dan menarik lenganku, membuatku melangkah tergopoh - gopoh mengikuti langkah Hanzel.

Langkahnya terhenti dan membenturkan tubuhku ke dinding dengan lumayan keras, membuatku mengaduh merasakan nyeri di punggungku.

Hanzel masih menatapku tajam. Kedua tangannya mencengkram kedua bahuku dengan sangat erat.

"Ha... Hanzel, to - tolong lepaskan aku... Kau menyakitiku..." ucapku lirih.

"Kau bilang kalau aku terobsesi begitu?!" ucapnya.

Aku diam, hanya meringis kesakitan.

"Kau tahu Lea!!! Aku mencintaimu!!! Bukan terobsesi padamu!!! Ingat!! Sejak awal, sekarang dan masa depan kau tetap milikku. Dan jangan pernah mengingat kakakmu yang bodoh itu... Apalagi mengatakan jika aku hanya terobsesi kepadamu."

Tangannya menggenggam sesuatu di leherku dan aku sadar, bahwa kalung dari kak Oza sudah berada di dalam genggamannya yang kuat. Aku menggenggam lengannya berharap dia melepaskan tangannya.

"Aku tidak suka jika kau menggunakan barang - barang dari kakakmu itu!"

PYARRR

Suara pecahan dari kalung itu terdengar sangat keras, menggema di setiap sisi. Membuatku menutup kedua mataku terkejut. Tiba - tiba ku rasakan genggaman erat didaguku.

"Ingat Lea, aku akan melakukan hal yang jauh lebih mengerikan di bandingkan ini..."

Desisnya yang langsung pergi meninggalkanku. Ku tatapn pecahan kalung itu, dan terlihat sebuah cip kecil mencuat dari dalamnya. Cip itu sudah retak.

Ku ambil pecahan - pecahan itu dan menggenggamnya dengan erat di dalam genggaman tanganku. Tanpa sadar, aku meneteskan air mata.

Kenapa begitu sulit.....

Kenapa begitu sulit menjalani ini semua...

You're Mine ✔️ {TERBIT}Where stories live. Discover now