BAB 03

3.7K 426 131
                                    

Aku masih menguap-nguap ketika menarik bangku, duduk, kemudian membaringkan kepalaku. Namun, laki-laki di sebelahku yang datang lebih dulu itu tampak sudah sibuk saja. Dino sedang mencatat sesuatu sehingga meja tua yang kami tempati agak berguncang. Aku segera mengangkat kembali kepalaku, kulihat ke arahnya. Hanya lanjutan dari catatan bahasa Inggris yang minggu lalu belum diselesaikannya. Dino kemudian menghentikan kegiatannya. Sepertinya sudah selesai, sehingga ia menutup buku catatannya dan kini membuka buku sketsa yang selalu ada di dalam tasnya.

Lembar yang semulanya kosong, sekarang berubah. Menjadi sebuah gambar dengan style manga khas Dino. Aku mengajaknya mengobrol guna mengusir kantuk. Untuk kali pertama, aku bertanya padanya, "Lo suka bikin komik?"

Dino hanya mengangguk pelan.

"Beneran?"

Sekali lagi, ia mengangguk. Matanya yang sejak tadi fokus ke goresan penanya, kini beralih kepadaku. Senyumku masih mengembang selayaknya seseorang yang memiliki harapan penuh terhadapnya. "Beneran. Cuma gue belum pernah selesain komik yang gue bikin," katanya.

Aku selanjutnya geming. Sampai pandangan Dino kembali ke kertasnya, aku masih diam memandanginya. Percakapan kami berhenti begitu saja, seperti biasa. Aku tidak tahu lagi harus memberikan respons seperti apa.

Apakah begini rasanya tidak satu frekuensi dengan orang yang kusuka? Sulit sekali.

"Disha, lo dicariin sama Kak Yusuf."

Di tengah perhatianku yang masih tertuju kepada Dino, Ajlan datang dari belakangku. Ia masih mengenakan ransel di punggungnya. Aku hanya mengangguk menanggapinya, kemudian laki-laki itu segera angkat kaki dari hadapanku. Pun, aku ikut angkat kaki dari kursiku. Kutemui Kak Yusuf yang menunggu di depan kelas. Pagi-pagi begini, untuk apa Ketua OSIS itu mencariku? Dan, memangnya Kak Yusuf kenal aku dari mana?

Tanpa perlu repot-repot mencari ke sana sini, aku sudah menemukan Kak Yusuf, tak jauh dari pintu kelas yang terbuka. Laki-laki yang lebih tua dua angkatan dariku itu langsung menyambutku dengan senyum. Begitu pula denganku, ikut tersenyum menyambut kedatangannya meski dengan kikuk.

"Disha, ya?" Ia bertanya.

Aku mengangguk.

"Jadi gini, Disha. Saya dapat rekomendasi dari Miss Jelita untuk ngajak kamu gabung ke English Club. Barangkali kamu minat untuk gabung, karena Miss Jelita juga sempat bilang kamu aktif di olimpiade Bahasa Inggris sewaktu SMP. Jadi, menurut saya juga, cocok kalau kamu gabung ke English Club. Kita pun aktif ikut olimpiade setiap tahunnya. Itu pun kalau kamu belum ikut ekskul apapun, sih, dan kalau kamu berminat."

Sejenak, aku geming. Selain tidak percaya kalau Kak Yusuf akan menghampiriku di kelas, aku juga tidak percaya Miss Jelita sampai merekomendasikanku untuk bergabung dengan English Club. Ini artinya, perjalananku mengikuti olimpiade tiap tahun takkan terputus, kan? Keren. Akhirnya, ada hal yang membuatku merasa lebih bersyukur karena aku masuk ke sekolah bak asrama laki-laki ini.

Dengan mata berbinar, aku menyungging senyum lagi. "Boleh, Kak. Kebetulan saya emang minat banget untuk gabung English Club."

Tanpa mengurangi wibawa yang mengelilingi auranya, Kak Yusuf terkekeh pelan. Sepertinya ia kaget melihat antusiasku yang besar. Laki-laki di hadapanku ini kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Ia menyodorkannya kepadaku. "Kalau gitu, saya minta ID LINE kamu, ya, untuk dimasukin ke grup. Kita nggak meeting terlalu sering, kok. Cuma dua minggu sekali kalau lagi nggak ada agenda. Jadi, semoga nggak ngebatasin kamu untuk punya kegiatan lain."

Aku senyum sekali lagi. Kuterima ponselnya untuk segera kuketikkan ID LINE milikku. Seusainya, percakapan kami habis. Kak Yusuf pamit untuk segera masuk ke kelasnya. Aku mempersilakan, dan kembali ke dalam kelas dengan senyum yang tidak luruh. Benar-benar aku tidak bisa berbohong pada perasaanku sendiri yang kelewat senang. Pagi ini rasanya jadi cerah dan menyenangkan sekali.

THS 1.0 : How To Heal A Heart and Break It AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang