"Banyak hal yang terjadi di masa lalu, Nova Sarojin dan ka—"

"Cyrus!"

Tarikan napas yang panjang dan terengah berasal dari Raka. Pemuda itu terjaga dan ia memandang sekelilingnya dengan mata terbelalak.

*

Semua terjadi terlalu cepat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Semua terjadi terlalu cepat. Raka terkejut kemudian ia tak sadarkan diri. Pekikan itu membuat telinganya sakit. Jika memang makhluk itu adalah sang raksaka dan ia murka, sudah untung Raka masih bisa membuka kelopak mata. Tapi ia benar-benar tidak ingat apa yang terjadi setelahnya. Karena ketika terjaga, tanpa disadari pemuda itu telah terduduk di atas sebuah kursi. Lemari kabinet besar yang mengelilinginya dalam sebuah ruang yang diterangi dengan cahaya jingga.

Terengah, matanya memandang sekeliling dengan liar. Nova duduk di kursi paling ujung di sisi kirinya, memandang Raka membatu. Sementara di seberang gadis itu adalah makhluk asing yang anehnya berbekas dalam benak pemuda itu. Dia berkepala burung hantu, bertubuh manusia dengan proporsi aneh dan mengenakan setelan jas. Satu orang di belakangnya merupakan si pemandu yang wajahnya dipenuhi tindik dan berpakaian serbahitam, matanya sehitam malam.

Wajah Raka kaku. Dalam setiap tarikan napasnya ia mencoba mengingat hal-hal gila di luar logika yang terjadi belakangan ini. Raka ingat ia kini berada di suatu tempat, entah di mana, untuk ikut Nova menuju sebuah kota bernama Floor.

"Berapa lama aku pingsan?" ucapnya lirih melirik gadis berambut burgundi itu. Ia memijat tulang hidungnya, berharap pening di kepalanya dapat hilang.

"Sepuluh menit, mungkin," jawab Nova, mengerjapkan mata, "Kamu enggak apa-apa?"

Menarik napas dalam-dalam, Raka mengalihkan pandangannya ke sosok berkepala burung hantu itu, "Untuk apa teriakan tadi itu? Seharusnya kau bisa memberitahu kesalahanku dulu, dari pada langsung menjerit dan nyaris membuat saya mati kena jantung. Untung aku masih muda," ucap Raka kepada dua orang di sisi kanannya.

"Jaga mulutmu ya, Hiraka!" perkataan pria suara bangkong tak kalah tingginya dengan Raka. Pria itu menudingnya dengan amarah yang tersirat jelas di wajah, "Kau berbicara dengan Masou di sini!"

"Yeah, terus? Jangan panggil aku dengan Hiraka. Itu kepanjangan!" pemuda itu berdiri, siap menjadi pemain sinetron drama dadakan, "Lagi pula kalian tahu namaku dari mana sih? Ini tempat apa? Apa-apaan dengan ini semua? Aku enggak bisa kalau hanya diam dan memerhatikan saja!"

Pria itu mengambil langkah lebar, mendekatkan tubuhnya ke arah Raka. Dia menatap pemuda itu dalam-dalam. Geligi buruknya tampak dari seringai yang ia coba tahan dalam kekesalannya.

Jari telunjuk yang ditekan di dadanya terasa sakit, "Tak ada yang mengharuskan kau untuk ikut, Hiraka, tapi kau meminta untuk ikut. Namun sayangnya, kau harus ikut, paham? Konsekuensi, ingat? Kau ini membingungkan. Sama membingungkannya bagai domba-domba yang hilang —meskipun kau selalu kami awasi. Dan lagi, nama hanyalah nama, tidak ada artinya. Itu cuma label yang diberikan orang tuamu supaya bisa memanggilmu dengan mudah. Aku Cy, tetapi bisa jadi juga seorang Bambang atau John atau Eva. Kau dungu atau bebal, eh, Hiraka?"

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now