Bagian 2

150K 11.9K 664
                                    

Namira sudah hampir membuka pintu mobil kalau saja Kevan tidak menahan lengannya. Hal itu sontak membuatnya mengalihkan pandang ke arah Kevan dengan alis yang melengkung ke atas. "Apa?"

"Biar saya aja yang buka," jawab Kevan dengan cengiran lebarnya.

Awalnya Namira bingung apa yang dimaksud oleh Kevan. Namun, setelah melihat pria itu dengan sigap turun dari mobil lantas membukakan pintu mobil untuknya, membuatnya sadar bahwa Kevan ingin bersikap layaknya pria gentle pada umumnya yang malah membuat dirinya geleng-geleng kepala. Pria itu terlalu berlebihan.

"Kamu pulang aja. Besok-besok aja ngomongnya. Aku mau istirahat," usir Namira setelah ia keluar dari dalam mobil.

Sungguh, setelah kejadian tadi, rasa malasnya untuk melakukan apa pun semakin bertambah. Sejujurnya, ia tidak ingin pergi bersama Kevan tadinya karena hari ini merupakan hari minggu, hari di mana ia akan menghabiskan waktu satu harian di rumah untuk beristirahat.

Namun, ibunya bilang tidak sopan menolak ajakan Kevan setelah ia menolak perjodohan satu minggu yang lalu. Katanya hitung-hitung sebagai penebusan dosa. Ibunya tidak tahu saja kalau setelah perjodohan itu, Kevan sering menemuinya di kantor dengan tujuan yang sama—mengajaknya menikah.

"Saya masih pengen ngomong sama kamu, Namira."

Namira memutar kedua bola matanya. Ia sudah tahu apa yang akan dibicarakan oleh Kevan nantinya. Pasti tak jauh-jauh dari keinginannya untuk menjadikan dirinya sebagai istrinya. Rasanya membosankan sekali jika mereka bertemu hanya untuk membicarakan soal itu. Pria itu gigih sekali. Padahal, ia sudah menolaknya berulang kali—dari mulai menggunakan cara yang halus sampai cara yang kasar.

Namira sudah membuka mulutnya, bermaksud untuk mengeluarkan kalimat pengusiran lainnya agar Kevan enyah dari hadapannya. Namun, suara lain sudah lebih dulu menginterupsi mereka berdua sehingga membuatnya kembali menutup mulutnya.

"Lho, kok udah pulang? Cepet banget jalan-jalannya?" tanya ibu Namira yang saat itu baru keluar dari dalam rumah bersama suaminya.

"Om, Tante," sapa Kevan seraya menyalami tangan kedua orang tua Namira. "Hari minggu rame banget, Tante. Jadi, kita mutusin untuk ngobrol di sini aja," tambahnya, menjawab pertanyaan ibu Namira sebelumnya.

"Oh, gitu. Ajak masuk dong Kevan-nya, Nami. Mami sama Papi mau arisan dulu," ucap sang ibu yang membuat Namira mendengus pelan seraya menggandeng lengan Kevan dan mengajaknya masuk ke dalam.

Bagus, Kevan berhasil mengambil simpati dari kedua orang tuanya. Otak pria itu memang cerdas sekali. Dan sialnya, ia akan kembali mendengar segala bujuk rayu Kevan yang terus berusaha untuk membuatnya menerima ajakan untuk menikah dengannya.

"Kamu mau ngomong apa? Ngomong aja sekarang. Aku buat minum dulu," ucap Namira setelah mereka berada di ruang tamu. Ia lalu membuka sepatu bertumit rendahnya terlebih dahulu sebelum meninggalkan Kevan seorang diri.

Kevan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum mengambil duduk di salah satu sofa yang ada di sini. Ia lalu tersenyum geli saat mengingat perkataan Namira yang menyuruhnya untuk berbicara sekarang saja. Jadi, Namira menyuruhnya untuk berbicara di saat gadis itu sedang tidak bersamanya? Ada-ada saja.

Sekian menit Kevan menunggu sembari melihat-lihat isi rumah Namira, gadis itu akhirnya kembali dengan nampan yang berisi segelas minuman dingin dengan beberapa toples yang berisi kue kering.

"Udah selesai ngomongnya?" tanya Namira seraya mengambil duduk di hadapan Kevan setelah menyusun apa yang ia bawa dari dapur di atas meja.

Kevan terkekeh pelan. "Kamu nyuruh saya ngomong sama tembok?"

Becoming His WifeМесто, где живут истории. Откройте их для себя