Suara Orang Kecil

Start from the beginning
                                    

Ruang multimedia, kami tiba di depannya. Sempat heran saat melihat ada beberapa pasukan memakai jas layaknya bodyguard berdiri di depan ruang multimedia. Pertama, kami mencoba untuk tidak mengacuhkan para bodyguard dan melepas sepatu, lalu meletakkannya di rak yang telah disediakan. Ani membuka pintu duluan, kemudian disusul aku. Satu pemandangan yang membuatku sedikit terkejut. Bu Sussy bersama dengan seseorang yang aku kenal betul wajahnya. Wajah yang selalu ada di depan kelas, beliau tak lain adalah Pak Presiden bersama beberapa pasukan pengawal presiden dan para petinggi negara. Namun, ada urusan apa beliau datang ke sekolahku? Apa ada masalah?
“Wuih, ada Pak Presiden!” celoteh Shinta sambil menunjuk-nunjuk Pak Presiden. Dina, teman dekatnya menurunkan jari telunjuk Shinta.
“Kamu ini, nggak ada sopan santunnya. Hobinya bikin malu semua orang.” Dina mengomeli Shinta dengan logat medhok-nya.
Aku berjalan mendekati kursi dan duduk di barisan paling depan. Jika kalian mengira aku anak rajin yang selalu duduk di depan dan memerhatikan penjelasan guru, maka jawaban kalian adalah salah besar. Aku benci duduk di barisan paling depan dan harus rela mengalah kepada mereka yang mau duduk di belakang. Tidak apa-apa, Tasha. Ini tidak akan menjadi hari yang panjang. Yang perlu kaulakukan adalah, mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Pak Presiden untuk satu setengah jam kedepan.
Sebenarnya, aku benci politik dan semua yang berhubungan dengan politik. Menurutku, politik hanya sebuah alat yang digunakan untuk melakukan sesuatu yang berbau kotor; dan aku benci kotor serta pekerjaan kotor.
“Assalamu’alaikum, Anak-anak!” sapa Bu Sussy semangat.
“Wa’alaikumsalam,” jawab kami serempak.
“Kalian pasti bingung sekaligus heran, kan? Kenapa ada Pak Presiden di sini, apa Ibu benar?” Bu Sussy mengeluarkan satu jurus memancing ikan agar kami masuk ke dalam kaitnya. Namun sayang, ternyata yang tertimpa kesialan adalah Firdaus.
“Enggak, Bu. Emang Pak Presiden ngapain ke sini? Mau lihat rumput sepuluh juta milik Bu Maryam yang enggak boleh diinjek-injek atau mau dengerin guyonan receh Pak Warta?” tebak Firdaus tanpa dikontrol dulu omongannya. Jelas, gelak tawa terdengar ke seantero penjuru ruangan. Bahkan Pak Presiden bersama para petinggi negara sampai menggelengkan kepala.
Bu Sussy menggelengkan kepalanya. “Kalian tidak ingat sama pengumuman kemarin?”
Kami memandang satu sama lain dan malah membalas perkataan Bu Sussy dengan pertanyaan juga, “Emang kemarin pengumumannya apaan, Bu?”
“Aduh, kalian itu. Masa masih muda udah lupa?”
“Bu, kemarin itu kami sibuk mikirin laprak yang tak kunjung habis. Rasanya, laporan praktikum itu kayak bisa beranak-pinak. Jadi, kami nggak sempat buat dengerin pengumuman dari Pak Dito,” celoteh Andre sambil menjentikkan jemarinya, disusul derai tawa kami.
“Laporan praktikumnya banyak ya?” Pak Presiden pun ikut menimbrung.
“Betul, Pak,” ucap Firdaus. “Bukan cuma laporan praktikum saja, tapi tugas-tugas juga bisa berkembangbiak dengan sendirinya. Tanpa dibuahi!”
“Saya dulu juga pernah sekolah, jadi sudah tahu rasanya seperti apa. Nikmati saja selagi masih sekolah,” ucap Pak Presiden sambil senyum-senyum sendiri.
Bu Sussy langsung mengambil alih topik pembicaraan, “Pak, saya tahu Bapak pasti ada kegiatan di luar selain mengunjungi sekolah berbasis afeksi nomor satu tingkat nasional. Jadi, bisa saya mulai?”
Pak Presiden pun mengangguk kalem. Bu Sussy mengedarkan pandangan ke semua orang, menghela napas berat kemudian dan berkata, “Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.”
“Wa’alaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh,” jawab kami serempak.
“Anak-anak, untuk hari ini SMA kita kedatangan tamu terhormat, yakni Presiden Republik Indonesia. Beliau mengunjungi sekolah ini, karena ingin melihat proses belajar-mengajar di sekolah kita. Mengingat sekolah kita adalah sekolah afeksi. Kalian beruntung, karena Pak Presiden memilih kelas kalian untuk melihat proses belajar-mengajar di sekolah ini,” jelas Bu Sussy panjang lebar.
Kami spontan bertepuk tangan heboh, kecuali aku yang hanya bertepuk tangan kecil.
“Kemarin kita belajar tentang apa, Nak?” tanya Bu Sussy penuh antusias.
“Budaya Demokrasi, Bu,” jawab kami tak kalah antusias.
“Ada yang bisa menjelaskan apa itu budaya demokrasi?”
Nadine mengangkat tangannya, beruntung Bu Sussy melihatnya. Wanita berkacamata itu menunjuk ke arah Nadine. “Ya, silakan.”
“Saya, Bu? Budaya demokrasi adalah pola pikir, dan sikap warga masyarakat beradsarkan nilai-nilai kemerdekaan, persamaan dan persaudaran antar manusia dengan kerjasama, saling percaya, toleransi, dan kompromi,” jawab Nadine lancar dan tanpa tersendat sama sekali.
“Bagus,” Bu Sussy mengacungkan jempolnya. “Selain itu, kita kemarin belajar tentang prinsip-prinsip budaya demokrasi. Coba sebutkan prinsip-prinsip budaya demokrasi menurut Miriam Budiardjo!”
Salsha mengangkat tangannya dan lagi-lagi Bu Sussy melihatnya. Jangan ditanya lagi, pasti Bu Sussy mengizinkan Salsha untuk menjawab pertanyaannya. Kenapa mereka begini? Supaya dapat poin plus, tidak ada yang lain.
“Perlindungan konstitusional, badan kehakiman bebas dan tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan umum untuk menyatakan pendapat, kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi dan beroposisi, pendidikan kewarganegaraan.” Lagi-lagi Salsha menjawab lancar.
“Anak-anak di sini rupanya cerdas semua ya. Saya bangga,” timbrung Pak Presiden kemudian disusul tepuk tangan nan meriah. “Bu, boleh saya berinteraksi dengan anak didik Ibu?”
Tentu saja Bu Sussy tidak akan menolak keinginan Presiden, siapa yang akan menolak coba? Jika posisiku dan Bu Sussy ditukar, aku akan melakukan hal yang sama. Pak Presiden berterima kasih, lalu menatap kami satu per satu. Sorot matanya penuh dengan kewibawaan, beliau mengembuskan napas dan memulai interaksi dengan kami.
“Tadi apa saja prinsip-prinsip budaya demokrasi menurut Miriam Budiardjo?” Pak Presiden mengulang materi yang baru beberapa menit yang lalu terlontar dari mulut Salsha.
“Perlindungan konstitusional, badan kehakiman bebas dan tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan umum untuk menyatakan pendapat, kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi dan beroposisi, pendidikan kewarganegaraan.” Bagus, kami menjawab pertanyaan Pak Presiden dengan lancar. Poin plus di mata Pak Presiden mulai bertambah.
“Tadi disebutkan bahwa, ada kebebasan untuk berserikat dan beroposisi. Saya ingin bertanya. Menurut kalian, bagaimana kebijakan pemerintah saat ini?”
Semua tiba-tiba saja bungkam, memikirkan apa yang harus mereka jawab. Beberapa dari teman-temanku bahkan ada yang berbisik, bergumam sendiri, sampai menggerakkan semua anggota tubuhnya. Pertanyaan Pak Presiden membuat mereka benar-benar berpikir keras.
“Ada yang bisa menjawab?” tanya Pak Presiden sekali lagi.
“Sha, kamu bisa jawab nggak?” bisik Diandra, temanku yang duduk di sebelahku saat ini.
Aku terdiam, menatap Pak Presiden yang sedang celingukan mencari seseorang yang bersedia menjawab pertanyaannya yang sederhana. Pak Presiden mengulang pertanyaan yang sama, bahkan sampai tiga kali. Namun, tak ada respon.
“Yakin? Tidak ada yang mau menjawab?” tawar Pak Presiden sekali lagi.
“Saya, Pak!” Aku mengangkat tanganku dengan berani.
Semua orang di ruang multimedia menatap ke arahku. Sebagian dari teman-temanku ada yang terkejut dan sisanya cuma memandangku kagum. Pak Presiden termasuk yang sisanya.
“Ya, silakan untuk Nak …” Pak Presiden mencoba menyebut namaku, tapi beliau kan, tidak tahu namaku.
“Tasha,” jawabku cepat.
“Ya, Nak Tasha. Silakan dijawab pertanyaan saya. Menurutmu, bagaimana kebijakan pemerintah saat ini?”
“Kebijakan yang mana dulu, Pak? Kebijakan pemerintah ada banyak.”
“Apa yang Nak Tasha ketahui saja.”
“Baik, menurut saya pribadi, kebijakan pemerintah bisa dikatakan sudah cukup baik. Yah, seperti pembakaran dan penenggelaman kapal nelayan asing yang berusaha mencuri kekayaan negara kita. Itu bagus, karena seharusnya memang kita semua, warga Indonesia, yang harus menikmati kekayaan kita sendiri dan kita harus memberantas orang-orang yang tidak bertanggung jawab sekaligus yang tidak memiliki hak untuk mengambil kekayaan kita,
“Selain itu, tentang pengedar narkoba yang dihukum mati. Dalam keadaan darurat  narkoba seperti sekarang ini, ketika kejahatan narkoba telah merusak generasi muda dan merampas hak hidup banyak manusia di Indonesia, adalah adil menjatuhkan hukuman mati terhadap satu orang penjahat narkoba. Jadi, pertimbangan utamanya adalah rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hukuman mati juga diterapkan untuk memberi peringatan keras bagi para penjahat narkoba potensial bahwa kita tidak akan berkompromi dengan kejahatan yang serius dan luar biasa itu.” Aku menjelaskan secara berapi-api dan semua orang terlihat takjub mendengar pendapat konyolku.
“Lanjutkan,” ucap Pak Presiden disertai anggukan kepala.
“Namun, ada beberapa hal yang patut saya sayangkan,” ucapku dengan nada datar.
Semua mendengarkanku dengan saksama.
“Korupsi, kemiskinan, dan pendidikan,” kataku lirih. “Korupsi masih merajalela di negara ini, walaupun para koruptor sudah ditangkap dan dihukum, tetapi itu tidak membuat korupsi hilang. Bahkan yang sangat saya sayangkan, koruptor dengan gampangnya bisa mempersingkat masa tahanannya. Bagaimana bisa? Orang yang jelas-jelas merugikan negara harus dihukum berat,
“Karena korupsi, kemiskinan pun terjadi. Ya, itu salah satu faktornya. Uang yang seharusnya dinikmati rakyat untuk meningkatkan fasilitas yang telah dimiliki, malah diambil semata-mata untuk kesenangan pribadi. Selain itu, untuk mengatasi masalah kemiskinan, pemerintah memiliki peran yang besar. Namun dalam kenyataannya, program yang dijalankan oleh pemerintah belum mampu menyentuh pokok yang menimbulkan masalah kemiskinan ini,
“Masalah pendidikan. Karena kemiskinan, banyak anak-anak yang harus putus sekolah dan hidup mereka berakhir di jalanan; gedung-gedung sekolah yang sudah tak layak lagi untuk belajar. Bahkan gedung sekolah yang sudah ambrol tersebut, pemerintah masih belum menyentuhnya sama sekali; perubahan kurikulum. Jujur, ini yang membuat saya bingung sendiri. Kurikulum pendidikan selalu mengalami perubahan, hal ini didasari karena semata-mata ingin mempengaruhi tujuan pendidikan itu sendiri agar proses belajar-mengajar semakin efektif. Namun, menurut saya pribadi justru perubahan kurikulum malah membuat proses belajar-mengajar tidak efektif,
“Sistem pendidikan di sini kalau menurut saya memang kurang efektif. Kami dituntut agar mendapat nilai tinggi di kelas. Karena hal itu, hampir sebagian siswa di Indonesia melakukan perbuatan curang. Ini yang patut saya sayangkan, tetapi apakah dengan nilai tinggi bisa membuat semua orang sukses? Tentu tidak. Salah seorang guru di Finlandia pernah berkata, ‘Pada dasarnya, semua murid itu cerdas dan pantas mendapatkan peringkat satu’. Namun, terkadang sistem memang tidak adil,
“Pak, saya tahu. Saya hanyalah rakyat biasa, tetapi suara orang kecil seperti saya juga ingin didengar oleh para petinggi. Saya peduli dengan negara ini dan untuk itu saya berbicara seperti ini. Terima kasih sudah mau mendengarkan saya. Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh,” jelasku panjang, sepanjang sungai terpanjang di dunia.
“Wa’alaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh,” balas semua orang, mereka bertepuk tangan sekaligus berdiri memandangku kagum. Bahkan, Pak Presiden juga melakukan hal yang sama.
“Terima kasih kepada, Nak Tasha, yang sudah mau menyampaikan kritik kepada pemerintah. Saya selaku Presiden Republik Indonesia, saya berjanji akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan apa yang Nak Tasha sampaikan,” ujar Pak Presiden.
“Saya pegang janji itu, Pak,” balasku mantap.

Writers ID untuk Indonesia Where stories live. Discover now