Suara Orang Kecil

46 4 0
                                    

firefliesip

Banyak yang bilang, Indonesia merupakan negara terkaya di dunia. Negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar kedua setelah Brazil. Negara dengan beragam budaya dari Sabang sampai Merauke. Negara yang  menganut berbagai macam kepercayaan. Bhineka Tunggal Ika, adalah semboyan negara ini. Berbeda-beda, tetapi tetap satu. Namun, apakah negara ini bisa dikatakan sudah merdeka? Sebagian besar mungkin menjawab, iya, tapi tidak untukku.
Memang benar, Indonesia telah merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945. Iya, Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya 71 tahun yang lalu. Lantas mengapa aku mengganggap bahwa Indonesia belum sepenuhnya merdeka? Sebab kita belum bebas dari penjajahan korupsi dan kemiskinan yang melanda negeri ini. Pikiranku berkecamuk, batinku tak tenang, memikirkan masa depan negeriku. Karena aku adalah salah satu generasi penerus bangsa dan aku turut prihatin dengan anak-anak muda zaman sekarang.
“Non, kita sudah sampai,” ucap Mas Andi, supir pribadiku, yang selalu setia mengantarku pulang-pergi ke mana pun yang aku mau.
Mas Andi berhasil membuyarkan lamunanku. Kutengokkan kepalaku ke arah kiri, melihat bangunan yang berdiri megah di pinggir Jalan Nyi Pembayun, Kotagede. Aku mengambil tasku, lalu mengenakannya. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih kepada Mas Andi, kemudian kubukakan pintu mobilku, keluar dari mobil, dan kututup kembali. Aku berdiri di depan gerbang berwarna cokelat dengan gapura sebagai pintu masuknya. Memandang mobilku yang melaju sampai aku tak melihat benda putih mengkilap itu.
Aku menoleh ke arah sekolahku. Beberapa murid seusiaku tengah berjabat tangan dengan para guru yang sedang piket hari ini. Senyuman mereka merekah bak bunga-bunga bermekaran. Enak dipandang. Kulangkahkan kakiku, memasuki halaman sekolah. Menjabat setiap tangan yang tak pernah letih dalam memberikan ilmu kepada anak didiknya. Selesai melakukan jabat tangan, aku berjalan melewati lobby sekolah dengan piala-piala kejuaraan yang menghiasi setiap lemari yang ada di sana. Sekolahku memang memiliki segudang prestasi. Belajar di antara orang-orang cerdas, tidak membuatku semakin minder. Justru itu membuatku semakin rajin dalam mengukir prestasi.
“Tasha,” panggil seseorang. Suara melengking khas wanita terdengar memasuki daun telingaku, lalu menjalar masuk ke dalam gendang telinga, kemudian diteruskan oleh tulang martil-landasan-sanggurdi, dan terakhir diteruskan ke dalam otak.
Aku menoleh ke belakang. Kudapati seorang wanita muda yang mengenakan seragam batik dengan variasi warna antara ungu dan hitam, tak lupa kerudung paris berwarna senada menutupi rambutnya. Beliau, guru PKn yang mengajar di kelasku, Bu Sussy. Aku berhenti melanjutkan langkahku menuju tangga yang akan menuntunku menuju kelas. Membiarkan wanita muda nan cantik laksana bidadari berjalan menghampiriku. Ketukan sepatunya terdengar jelas. Aroma parfum yang melekat di tubuhnya juga tercium hingga radius tiga ratus meter. Bahkan aku bertanya-tanya, berapa botol parfum yang Bu Sussy habiskan dalam waktu satu jam?
Aroma mawar.
“Ada perlu apa, Bu?” tanyaku lembut, begitu Bu Sussy sudah berada di hadapanku.
“Nanti Ibu masuk ke kelasmu kan, ya?” Bu Sussy malah berbalik menanyaiku. Aku membalasnya dengan anggukan kepala dengan tatapan polos seperti anak kecil. Bu Sussy menghela napas. “Nanti saat pelajaran Ibu, bilang sama teman-teman kamu kalau kita akan belajar di ruang multimedia. Akan ada kejutan di sana.”
“Baik, Bu.” Aku mengangguk pasti.
Wanita berwajah oval dan berkulit putih mulus itu melemparkan sebuah senyuman kepadaku. Beliau berjalan meninggalkanku, sedangkan aku hanya bisa menatap punggungnya dari tempat aku berpijak. Gaya jalannya mirip seperti model Victoria Secret. Berlenggak-lenggok, mirip seperti menthok. Ah, apa yang kaupikirkan Tasha? Segera saja aku menaiki tangga berwarna hijau yang sempit, menuju kelasku.

Aku jenuh. Aku bosan. Aku tidak berminat mengikuti pelajaran ini. Pelajaran yang benar-benar menguras otak dan tenaga secara tidak sadar. Matematika. Entah kenapa sejak SD aku benci pelajaran menghitung. Kupandangi jam dinding berwarna merah muda, yang selalu berdiam di tempatnya. Berharap pelajaran ini segera berakhir. Sebentar lagi pelajaran Bu Sussy akan segera dimulai. Sebenarnya, seluruh saraf di otakku ini sudah saling melilit satu sama lain. Kejutan apa sih, yang akan diberikan Bu Sussy kepada kami?
Kriiiiiiiiiiiinnggg …!
Terima kasih, Tuhan. Engkau telah mengakhiri pelajaran neraka ini. Pelajaran matematika telah berakhir. Aku selamat dari cengkraman guru matematika dan antek-anteknya. Bu Erni, guru matematika, membereskan buku-bukunya. Aku menegakkan posisiku, memandang wanita itu dari bangkuku. Bu Erni tak melunturkan senyumannya. Semua murid di kelasku mengucapkan terima kasih kepada beliau. Segera Bu Erni membalas ucapan murid-murid di kelasku, lalu berlalu meninggalkan kelas. Setelah dipastikan Bu Erni berada di luar radar, aku beranjak dari bangkuku, berjalan ke depan kelas.
“Guys, minta perhatiannya sebentar.” Aku bertepuk tangan agar teman-teman sekelasku memerhatikan aku untuk beberapa menit saja. Semua sesuai rencana, 26 pasang mata tertuju padaku.
Aku berdehem, kemudian melanjutkan kembali perkataanku yang sempat terhenti demi mendapat sebuah perhatian, “Terima kasih. Tadi, aku dapat amanah dari Bu Sussy. Kalau kelas kita …”
“JAM KOSONG!” Firdaus bersorak girang, diikuti beberapa temannya yang turut berjingkrak-jingkrak tak karuan.
“Heh, dengerin dulu kalau ada orang lagi ngomong!” tegur Ani agak sedikit keras, membuat semua orang terdiam begitu mendengar suaranya yang cetar membahana badai terpampang nyata.
Setelah dirasa semua sudah tenang, Ani kembali berucap, “Lanjutin, Sha. Tadi Bu Sussy nyampaiin apa sama kamu?”
“Bu Sussy bilang kita disuruh ke ruang multimedia,” jawabku.
“Yuk, ke ruang multimedia sekarang.” Andre, si Ketua yang digandrungi banyak cewek di sekolah, mengajak anak buahnya untuk segera ke ruang multimedia.
Aku mengambil alat tulis dan buku jikalau diperlukan. Saphire, teman seperjuangan Ani, langsung berteriak mengingatkan kami, “Jangan lupa bawa barang berharga ya!”
“Nyawaku berharga,” celetuk Firdaus dengan logat anak TK.
“Icik,” ujar Saphire ketus.

Writers ID untuk Indonesia Where stories live. Discover now