Aku mengernyit bingung. Mengapa Dana meminta maaf? Aku masih tetap diam, tidak berkata apapun sementara Dana kini mengusap punggung tanganku dengan ibu jempolnya.


"Maafkan gara-gara aku kita nggak jadi ke Bali."


Bali?


Dana bilang Bali barusan? Aku mengalihkan pandanganku kepada Kafin dan menatapnya bingung. Mengapa Dama justru mengatakan Bali? Apa maksudnya?


Bagaikan mengerti kebingunganku, Kafin berjalan mendekati Dana.


"Lo ingat apa yang terjadi?" tanya Kafin.


Dana menatap Kafin bingung, "Gue kecelakaan bukan?"


Kafin mengangguk sementara kedua orang tua Dana serius memandangi putranya yang tergolek lemah itu. "Lo ingat elo kecelakaan dimana?" tanya Kafin lagi.


"Kayaknya gue lagi dijalan deh mau ke rumahnya Sekar. Besok seharusnya kita berangkat ke Bali, apa harusnya hari ini? Nggak ingat gue."


Kafin terdiam. Ia menatapku lalu kembali menatap Dana. "Lo ngapain ke Bali sama Sekar?"


Dana kini menatap Kafin gusar, "Apaan sih lo banyak nanya terus? Gue ke Bali sama Sekar bukan urusan lo sama sekali. Lagian lo ngapain disini? Keluarga gue juga bukan."


Aku memandangi Kafin tak percaya. Tidak mungkin. Aku pasti tengah bermimpi bukan? Tidak mungkin Dana lupa ingatan. Lupa ingatan itu hanya terjadi di sinetron layar kaca.


Oh Tuhanku, apalagi rencana-Mu kali ini?


Ibu Teti bergerak mendekati Dana, "A, Kafin itu suaminya Yura. Masa Aa nggak ingat? Mereka berdua sudah menikah."


Dana kini memandang ibunya bingung, "Menikah? Ibu jangan bercanda deh. Yura bahkan nggak punya pacar. Kenapa Yura bisa nikah sama Kafin?"


"Dana sepertinya lupa ingatan." Ujar Kafin, "Biar saya panggil dokter terlebih dahulu."


Kafin langsung beranjak ke luar ruangan Dana dan menghilang di balik pintu. Perhatianku kembali kepada Dana yang menatap Ibu Teti, Pak Ramadi, dan aku secara bergantian dengan bingung.


"Apa yang terjadi sebenarnya? Aa nggak ingat apa-apa, Bu. Yang Aa ingat, Aa lagi dijalan mau ke rumah Sekar setelah itu Aa nggak tahu lagi." Dana memutar kepalanya menghadapku, ia menarik tangan kiriku sedikit kasar dan wajahnya berangsur kesal.


"Kemana cincin yang aku belikan untukmu, Kar?" tuntut Dana kesal, "Kamu nggak pakai cincin pemberianku karena lelaki itu?"


Aku langsung menarik tanganku dari Dana secara impulsif. Aku memilih untuk tidak menjawab Dana dan bertukar pandang dengan Ibu Teti.



"Aa beneran nggak ingat apapun? Cincin yang Aa maksud itu cincin apa?"

Bound By MemoryWhere stories live. Discover now