Tanpa kusadari kedua tanganku membungkam mulutku. Tubuhku bergetar dan isak tangis mulai terdengar. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Dana akan separah ini, hatiku bagai teriris melihatnya tidak berdaya seperti sekarang ini. Kedua mata Dana yang sedari tadi tengah menatapi ibunya kini beralih kepadaku.


Tubuhku membeku seketika. Dana menyadari keberadaanku dan seisi ruangan pun ikut memandangiku. Namun, hanya Dana yang aku lihat. Ketika kedua mata kami saling terpaut, seisi ruangan bagaikan ditelan bumi. Hanya ada aku dan Dana.


Tangisanku semakin tak dapat dibendung, ini adalah kali pertama Dana menatapiku dengan tatapan yang dahulu sering ia berikan padaku, bukan tatapan menjijikan yang diterimaku ketika Dana memergokiku dan Kafin. Aku sudah siap memutar tubuhku dan berlari keluar, aku tidak sanggup. Nyatanya aku tidak cukup kuat untuk bertemu dengan Dana.


Namun, suara yang sangat aku rindukan itu berhasil menghentikan langkahku dengan namaku yang terucap.


"Sekar..." Tidak salah lagi. Aku tidak salah dengar. Dana memanggilku. Dana melafalkan namaku.


Aku menatap Dana nanar, masih berusaha memahami kenyataan bahwa Dana memang benar memanggil namaku. Aku terdiam, kakiku bagaikan menempel dengan bumi, sulit sekali untuk digerakkan sementara aku ingin sekali berlari mendekati Dana, menanyakan kepada lelaki tersebut apakah benar barusan ia memanggil namaku?


Meskipun berbalutkan kassa dan berhiaskan lebam, Dana tidak merintih ataupun mengaduh, ia hanya menatapku bagaikan aku adalah satu-satunya manusia yang berdiri di dalam ruangan ini. Dana tetap memandangiku ketika Pak Ramadi berjalan mendekatiku dan menarikku untuk mendekat dan bergabung bersama Ibu Teti juga Kafin.


"Nggak apa-apa, Sekar." Bagaikan menyadari kesegananku, Pak Ramadi tetap menuntunku hingga akhirnya aku berdiri di antara Ibu Teti dan Pak Ramadi sendiri.


"Aa, ada Sekar disini. Aa ingat Sekar bukan?" tanya Ibu Teti dengan suaranya yang masih terdengar bergetar akibat menangis.


Dana memandangi Ibu Teti sesaat lalu kembali memandangiku. Jantungku berdebar begitu hebatnya, Dana pasti mengingatku, setelah ini aku yakin Dana akan mengusirku keluar.


"Sekar..." bisik Dana lagi, masih tetap mengunci pandangannya padaku. 


Jantungku mencelos, namun aku tetap mengangguk. Aku hapus air mataku dan dengan sekuat tenaga, aku berjalan mendekati Dana ketika Ibu Teti menyuruhku untuk berdiri di samping kasur Dana. Aku melangkahkan kakiku pelan dan berhenti tepat di samping Dana.


"D-D-Dana..." panggilku gelagapan. Aku benar-benar tidak tahu harus bersikap seperti apa. Aku tidak dapat bersikap wajar ataupun tenang.


Dana memandangiku lekat, lalu aku melihat tangan kirinya bergerak ke arahku dan ia meraih kedua tangankku. Sungguh, aku kaget sekali. Aku tidak mengira kalau Dana akan menggenggam tanganku seperti ini. Aku mengira Dana akan mengusirku.


"Maafkan aku..." bisik Dana kembali.


Bound By MemoryWhere stories live. Discover now