1. Genuine Hotel

10K 321 0
                                    

Bali, 13 Desember 2014

Arkan pov.

Sinar matahari yang masuk melalui celah tirai jendela kamar hotel membuat Arkan membuka paksa kedua matanya. Arkan tidak ingat kalau tirai kamar hotel tempatnya menginap selama acara peresmian Genuine Hotel terbuka. Seingatnya, dia sudah menutup rapat tirai kamar hotelnya sebelum meninggalkan kamar untuk pergi ke acara peresmian.

Setelah melakukan peregangan tangan, Arkan bisa memastikan matanya sudah terbuka sepenuhnya. Tiba-tiba saja kepalanya dihantam gelombang rasa sakit. Arkan berusaha mengingat alasan yang membuatnya kepalanya sakit seperti ini namun masih tidak menemukannya. Dia sama sekali lupa mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Arkan menegakkan tubuhnya sambil memijat pelan dahinya dengan tangan kirinya.

Arkan meraba meja kecil yang ada di sebelah tempat tidurnya tanpa menoleh sedikitpun untuk mencari kacamata yang biasa diletakkannya disitu. Kacamata itu hanya digunakan Arkan saat hendak membaca atau bekerja. Seperti saat ini, dirinya membutuhkan kacamata itu untuk membaca email dari Miko, teman sekantornya.

Arkan menolehkan kepalanya ke sebelah kanan karena tangannya tidak berhasil menemukan kacamatanya.

Dimana sih gue menaruhnya, celetuknya dalam hati.

Arkan melihat lampu tidur dalam keadaan padam serta iPhone berwarna hitam miliknya di atas meja yang dia tahu menggunakan jenis kayu sonokeling sebagai bahan pembuatannya itu. Arkan melihat meja itu dengan kening yang berkerut sambil berusaha mengingat dimana tadi malam dia meletakkan kacamatanya.

Arkan merasa suhu pendingin ruangan di kamar sangatlah dingin sehingga dia menarik selimutnya hingga menutupi bagian bahu bidangnya yang tidak mengenakan apapun. Saat mengambil iPhone miliknya, Arkan tersentak.

"HA!" Arkan menarik turun selimut yang tadi ditariknya untuk mengurangi rasa dingin dan mendapati dirinya tidak mengenakan sehelai benangpun di tubuhnya. Telanjang! Ya, Arkan mendapati dirinya telanjang di atas tempat tidur saat ini.

Arkan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dengan wajah yang dipenuhi tanya.

"Gue dimana?" Tanpa sadar Arkan mengucapkan kata-kata tersebut, padahal dia tahu tidak ada seorangpun yang akan menjawab pertanyaannya. Dia sendirian di kamar itu.
Arkan tidak mengenali kamar ini. Walaupun dirinya baru menginap satu malam di hotel itu, namun Arkan yakin ini bukan kamarnya. Kamar ini lebih luas dari kamarnya dan jika dilihat sekilaspun kamar ini sangat berbeda dengan kamarnya. Sudah sangat jelas, kamar ini sama sekali bukan seleranya.

Kamar yang dindingnya didominasi warna putih ini ukurannya dua kali lebih luas dari kamarnya. Dia dapat melihat mini lounge dengan warna senada di tengah ruangan, dibatasi oleh tirai yang terbuat dari kerang-kerangan. Kamar ini pasti lebih mahal dari kamar yang disewanya, pikirnya.

Arkan mengakhiri pengamatannya dengan berdiri dan memutuskan tidak mengenakan apapun untuk menutupi tubuhnya. Rasa penasaran atas apa yang telah menimpa dirinya lebih besar dari keinginannya untuk mengenakan baju. Arkan memperlihatkan wajah bingungnya saat melihat pakaian yang dikenakannya tadi malam berserakan di bawah tempat tidur. Matanya tertahan pada sesuatu yang tertempel di atas meja.

Sorry, i suddenly have to go. It's the best night i ever had, Arkan. See you when i see you again.
Kara.

***

21 jam yang lalu...

Arkan melirik ke arah jam tangan Casio kesayangannya. Jarum jam menunjukkan pukul 19.05 yang artinya jika tidak ngaret seperti kebiasaan orang lainnya, pengguntingan pita untuk peresmian hotel itu akan dimulai 55 menit lagi.

He Is (Not) My Husband - TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang