Amber 2

3.8K 131 5
                                    

Deru kendaraan memenuhi jalanan kota Jakarta, Amber melangkahkan kakinya menuju terminal bis terdekat. Ia bertolak ke kota di ujung paling barat pulau Jawa lalu dari sana ia akan menaiki sebuah perahu menuju pulau kecil dengan gunung yang selalu tampak hitam. Tidak, bukan hanya gunung itu saja yang hitam, tapi keseluruhan pulau itu berwarna hitam. Amber sebenarnya masih sangsi dengan adanya sebuah rumah diatas puncak gunung tersebut, ia telah memeriksa letak geografis daerah tersebut dan jika di tilik akan sulit bagi orang lain untuk membangun sebuah rumah disana, terkecuali jika rumah itu hanyalah bangunan semi permanen. Ia lalu meyakinkan dirinya jika ini bukanlah hal yang perlu dipertanyakan, tugasnya cukup mudah dengan bayaran yang besar.

Bis yang membawanya telah tiba di stasiun terakhir, dari sana ia mengambil angkutan kota yang akan membawanya ke daerah pantai, tempat dimana Mang Dadang si pemilik perahu telah menunggu. Di dalam angkutan kota, terlihat beberapa orang memperhatikannya. Ia tahu apa yang mereka perhatikan, bungkusan panjang dengan ikatan rotan itu yang membuatnya menarik perhatian. Seorang anak kecil berumur dibawah lima tahun mencoba memegangnya, hanya menyentuh sedikit saja wajah itu langsung tiba-tiba berubah. Lalu ia menangis menjerit pada ibunya, menunjuk-nunjuk Amber yang kini tengah kebingungan. Ibu anak tersebut yang mengetahui bahwa Amber tak melakukan apapun pada anaknya hanya meminta maaf, namun anak kecil tersebut masih saja menunjuk Amber sambil menangis sejadi-jadinya. Merasa tak nyaman dengan hal itu, Ibu tersebut akhirnya turun. Amber melihat mereka dari kejauhan saat angkutan yang membawanya menjauhi Ibu dan anak tersebut. Si anak tiba-tiba berhenti menangis dan kembali ceria dengan begitu cepat. Amber mengerutkan kening.

Semilir angin pantai meniup anak rambut Amber yang siang itu telah sampai. Mang Dadang yang mengetahui kedatangannya langsung menyambutnya dan membawanya kesebuah warung kecil berbentuk saung yang terletak dipinggir pantai. Ada beberapa orang disana, dua diantaranya wanita dan tiga orang pria. Mereka bersikap ramah dan mempersilahkan Amber untuk duduk dan bergabung sementara Mang Dadang menyiapkan perahu.

"Ini bawa apa, Neng?" Tanya seorang Ibu sambil menyodorkan buah kelapa yang telah dikupas pesanan Amber. Amber tersenyum lalu melihat pada bungkusan yang dibawanya. Ia pun bahkan tak tahu apa isi dari bungkusan ini, ada sedikit rasa penasaran namun dalam pekerjaannya lebih baik ia tak tahu.

"Pesanan orang, Bu." Ucap Amber ramah, mereka semua yang ada disana ber oh ria.

"Ke pulau itu hanya sendiri? Kenapa tidak mengajak teman-teman? Pulau itu tidak berpenghuni, jika malam tiba disana tidak akan ada apa-apa. Jangankan penjual seperti saya, sebuah rumah pun tidak ada." Ucap Ibu penjaga warung menerangkan. Amber mengernyitkan dahi.

"Apakah warga sekitar sini sudah mengelilingi keseluruhan pulau?" Tanya Amber penasaran

"Ya, tentu saja. Banyak batu apung disana, kami biasa memanennya. Tapi itu dulu... sekali. Sekarang sudah jarang, karena aktivitas dari gunung itu sendiri sering meningkat tanpa diduga-duga" Keluh seorang pria usia setengah baya sambil menyeruput kopinya.

"Pulau itu paling indah kalau dilihat malam hari, terkadang ada pijaran api yang muncul dari kawah. Merah dan terlihat seperti kembang api, sangat indah sekali. Namun orang dari pusat penelitian melarang kami untuk berada dibibir pantai pada saat kejadian itu berlangsung. Ditakutkan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan karena aktivitas gunung yang labil." Ucap seorang pria yang usianya sebaya dengan Amber.

"Apakah sudah siap?" Tanya Mang Dadang yang telah berdiri di dekat tiang penyangga Saung. Amber mengangguk lalu mengikuti Mang Dadang menuju perahu yang telah dipersiapkannya setelah sebelumnya ia berpamitan pada warga.

Perahu kecil itu terombang-ambing sekitar 15 meter dari bibir pantai. Perahu kecil yang Mang Dadang bawa tidak dapat menjangkau bibir pantai karena terdapat kumpulan karang yang menyelubunginya, jika dipaksakan lampung perahun kecil itu akan rusak dan akan membuat mereka dalam kesulitan besar. Dengan terpaksa Amber berjalan melewati tajamnya batuan karang yang ia pijak. Untunglah ia telah menyiapkan semuanya, ia membawa sepatu karet yang tebal agar kakinya tidak terluka. Mang Dadang meminjamkannya sebuah baskom plastik yang telah dimodifikasi dengan menambahkan baskom lainnya dalam keadaan tertelungkup dan bentuknya kini menyerupai bola. Didalam baskom inilah Amber meletakkan barang bawaannya agar tidak basah, paket titipan Martha pun telah ia tutup menggunakan plastik sehingga tak akan basah.

Amber StoneWhere stories live. Discover now