Perpustakaan

18 0 0
                                    

Di sudut ruangan terlihat seorang lelaki terus membolak-balik halaman buku di hadapannya. Entah dibaca atau tidak, hanya dia yang tau. Matanya melirik menyapu setiap halaman dengan cepat. Rambutnya tidak disisir dengan rapi, poni panjangnya jelas menutupi dahinya. Rambutnya kadang bergoyang-goyang tertiup angin kipas di tengah ruangan. Kacamata lumayan tebal tergeletak di sebelah ponselnya. Hanya ada enam orang di ruangan itu. Yang lain membaca diantara sela rak buku. Entah mungkin lebih nyaman, atau memang supaya lebih mudah berganti buku tanpa harus bolak-balik. Memang tidak ada larangan membaca di luar ruang yang disediakan. Meskipun sudah terpasang AC, tapi kipas angin juga tertancap hampir di tiap ruangan. Kata salah satu penjaga perpus, 'Supaya berkesan klasik dan romantis'. Apa hubungannya dengan romantis? Hanya si penjaga yang tahu.

Ting Tong!
Bunyi notifikasi handphone.

"Bisa tolong ambilkan buku yang ketinggalan di laci ngga?" Tulis pesan di layar.

'Huh. Aku harus balik lagi ke sekolah." Gerutu lelaki itu dalam hati. Segera dia menempatkan buku di dalam rak. Baru saja dia hendak meraih tasnya, ternyata hujan tidak merestui dia pergi. Kembali dia menghampiri kursi kosong dekat jendela. Jemarinya pun mulai sibuk membalik halaman lagi. Setengah jam kemudian ada satu tambahan pengunjung di perpustakaan. Perempuan. Memakai hoodie yang menutupi kepalanya, bekas tetesan hujan masih terlihat jelas. Basah. Si lelaki tidak terlalu memerhatikannya, hanya sekali dia melirik saat perempuan itu baru saja masuk. Setelah itu, kembali sibuk dengan bahan bacaannya.

Detak jam kalah dengan derasnya hujan. Apalagi ditambah tiupan angin yang tak mau ketinggalan menambah suasana semakin berisik di luar. Hujan lebat.

Setengah jam kemudian lelaki itu memutuskan keluar, mesk hujan belum reda, dibawanya buku itu ke penjaga perpustakaan. Tangan kanannya mengeluarkan pena dari tas gendongnya yang kosong dan lusuh. Tas yang menggambarkan ciri dari lelaki itu. Berantakan. Coretan tangannya dalam kertas peminjaman buku pun semuanya miring ke kanan. Tergesa mungkin.

"Maaf Mas, kira-kira lama nggak baca buku itu?" Tanya seorang perempuan yang ternyata adalah yang tadi memakai hoodie, hanya saja sekarang sudah dilepas. Perempuan itu memakai kaos putih bentuk leher 'O' lengan panjang. Bahkan sampai menutupi jemarinya. Bola matanya besar melirik ke arah buku yang dipegang si lelaki. Roknya pendek, sekitar lima sentimeter diatas lutut. Lelaki itu tertegun melihat sosok didepannya. Ragu, dengan siapakah perempuan itu berbicara. Sempat dia menengok ke belakang, memastikan. Ternyata memang tidak ada seorangpun.

"Emm.. mungkin satu minggu lagi saya kesini." Jawabnya singkat, tatapnya ke arah kalung salib berwarna perak di leher perempuan.

"Ohh.. satu minggu ya, soalnya aku butuh buat ngerjain tugas." Kata si perempuan, sementara telapak tangannya disatukan. Di dekatkannya ke bibir. Memohon.

"Emm.. Kalau gitu bukunya kamu yang bawa dulu. Jangan lama-lama ya." Jawab lelaki itu sembari memberikan novel, si perempuan agak ragu awalnya, dia seperti menimbang-nimbang sesuatu, tapi akhirnya diraihnya novel tebal itu. Dipeluk erat di dada.

"Makasih Mas," Ucapnya sembari tersenyum. Matanya agak menyipit semakin menambah manisnya.

"Emm.. Iya" Jawabnya sebelum dia balik kanan lari kecil menuju tempat parkir, berusaha mengurangi basah derasnya hujan yang mengguyur siang itu. Langit masih gelap dipenuhi awan mendung, belum ada tanda bahwa hujan akan reda.

Digasnya motor klasik itu menerobos hujaman rintik hujan yang sangat deras. Mantelnya mungkin bisa melindungi dia dari basah, tapi tidak untuk rasa dingin yang mulai menusuk. Jalanan agak sepi, jarang terlihat pengendara motor yang lewat. Di lampu merah pun hanya satu dua motor, lebihnya angkutan umum juga mobil. Motor klasik itu belok ke pintu gerbang sebuah SMA. Si lelaki bergegas pergi ke kelas dimana buku temannya tertinggal. Hari yang merepotkan. Itulah kata pertama setelah melepas helm dan jas hujannya.

End of chapter one

•••••••••••

Cinta KliseWhere stories live. Discover now