L.O.L

556 71 57
                                    

Lima dekade silam, dunia kembali diramaikan dengan ledakan-ledakan di permukaan bumi. Darah kembali membanjiri daratan. Peta pun digambar kembali untuk menandai garis perbatasan baru antar negara atau sekedar menghapus nama suatu negara.

Ya, perang dunia ketiga telah terjadi. Tidak seperti perang dunia sebelumnya yang berlangsung singkat, perang dunia ketiga memakan waktu hingga dua puluh tahun lebih. Semula, perang dimulai karena perebutan cadangan minyak dunia oleh para negara adidaya. Namun, perang yang kala itu tidak kunjung ada tanda akan berdamai, merembet ke daerah-daerah lain untuk menambah sumber dayanya.

Tidak terkecuali di Indonesia. Negara dengan berjuta kekayaan alam ini turut menjadi sasaran para negara adidaya. Mulai dari yang mengajak bekerja sama, sampai terang-terangan melancarkan serangan. Namun, Indonesia berhasil mempertahankan kedaulatannya dengan berpegang teguh sebagai pihak netral dalam perang dunia.

"Menyerang berarti terluka." Sebuah semboyan yang terkenal di kalangan pejuang kala itu. Kita tak akan menyerang karena kita tidak ingin terluka, tapi apabila kita diserang, berarti mereka telah siap pulang ke negara mereka membawa luka. Sebuah kalimat bermata dua baik untuk Indonesia sendiri maupun negara lain. Dan dengan ideologi seperti itulah, bertahun-tahun Indonesia mampu menahan gempuran negara lain.

Hentikan pembicaraan sejarah ini. Apa yang lebih penting adalah masa pasca perang. Kehidupan rakyat kian memburuk karena perang. Kelaparan, kekerasan, dan kriminalitas meningkat pesat. Meski perekonomian dan politik negeri ini kembali stabil, tapi indeks kebahagiaan menurun drastis dan tidak ada tanda-tanda meningkat dalam beberapa tahun.

Menghadapi itulah, muncul ke permukaan, seorang ilmuwan lokal yang menciptakan gas kebahagiaan. Dipercaya dengan gas itu, ketegangan saraf akan mengendur, dan mempermudah seseorang untuk tertawa. Dengan tertawa, manusia mampu melepaskan stress dalam kepalanya dan menyehatkan baik secara fisik maupun jiwa, begitulah teorinya.

Namun, realita berkata lain. Bukannya menyehatkan, justru membawa kematian. Ketika seseorang mulai untuk tertawa, dia tidak dapat menghentikan tawanya dan semakin lama tawanya akan semakin nyaring. Yang menanti mereka di akhir tawa hanyalah sesak di dada dan akhirnya tergeletak tak bernyawa di lautan urinnya.

Petaka kian menjadi saat laboratorium tempat membuat gas itu meledak. Menghamburkan gas berbahaya itu ke udara. Menjadikannya sebuah wabah mematikan yang menular dengan cepat ke pejuru kota. Penyakit langka ini pun di kemudian hari diberi nama [Laugh Out Loud] atau disingkat L.O.L. 

Kini seisi kota telah diisolasi. Orang yang bisa tertawa dilarang berada di kota ini dengan alasan keselamatan mereka yang terjangkit. Begitu juga sebaliknya, penduduk yang terinfeksi dilarang untuk keluar dari kota karena setelah menginang, penyakit ini dapat menular lewat cairan tubuh. Sampai detik ini, serum untuk menyembuhkan penyakit belum juga ditemukan.

Semua orang hidup dalam ketakutan akan tawa. Hanya di kota ini, menggelitik adalah kejahatan yang dipidana setara dengan pidana pembunuhan. Dan hanya di kota ini pula, film komedi diperlakukan sebagai film horor. Mereka yang bermental baja dan mampu menahan tawa saja yang berani menontonnya.

Memang terlihat konyol dan bodoh semua itu. Tapi aku tidak bisa menertawakannya. Nyawaku dipertaruhkan di setiap hal lucu tersebut.

Selama lebih dari tujuh tahun, kuhabiskan waktuku untuk meneliti serum yang dapat mengakhiri ketakutan kami terhadap tawa. Kini umurku sudah beranjak 17 tahun, waktuku tidak lama lagi sebelum lulus dari SMA dan akhirnya harus mengikuti program wajib militer. Saat itu terjadi, semua data penelitianku akan disita pihak berwenang, dan aku harus berkontribusi kepada negara sebagai alat pertahanannya.

Kenapa aku harus mengalami semua itu?

Karena ilmuwan yang bertanggung jawab atas segala kekacauan ini adalah ayahku. Ayahku sendiri telah meninggal sepuluh tahun lalu di tangan penyakit buatannya. Sebagai anaknya, aku dituntut untuk menanggung dosa yang telah dilakukannya. Semua itu karena aku adalah satu-satunya orang yang mampu membaca catatan penelitian peninggalannya.

"Semuanya tenang dan kembali ke kursi masing-masing!"

Oke, itu tadi pembuka yang sangat panjang. Saat ini aku sedang berada di kelas sambil mencorat-coret rumus ikatan molekul yang bisa membuat otak anak SMA normal meledak. Di sinilah kisah sebenarnya dimulai.

"Hari ini kita kedatangan murid baru."

Ya, kisahku bermula saat aku bertemu dengan gadis itu.

"Silakan perkenalkan namamu ke teman sekelas!"

"Hai, namaku Anabella Krista, silakan panggil Ana atau Bella, salam kenal."

Seketika itu juga semua mata tertuju padanya, tidak terkecuali mataku. Bukan hanya tertarik pada paras cantiknya, tapi ada hal lain yang membuat kami melototi wajahnya. Sesuatu yang mampu membuat satu kelas bergidik ngeri dan pucat pasi.

Dia tersenyum.

TBC


Hohohoho, aku datang bawa ide cerita baru. Sebenarnya gak baru sih. Ini ide cerita yang sudah lamaaaaaaaaa banget bersarang di komputerku. Dan sudah cukup lama kukembangkan idenya sampai akhirnya jadi seperti yang kalian baca.

Rencananya, setelah Esper Song berhasil ditamatkan, inilah proyekku selanjutnya di dunia orange ini. Entah bakal kesampaian atau nggak. Masih banyak cerita senasibnya yang gak kebikin sampai sekarang. 

L.O.L ini merupakan ide ketigaku yang kurencanakan sebagai proyek novel. Dua cerita sebelum ini berujung gagal dibuat karena buntu plot. Justru malah ide-ide terbaru macam Reset Button yang baru kupikirin pas Desember 2014 sama Esper Song yang baru kupikirin 1 Januari 2015 yang berhasil terbit duluan.

Oke, aku minta pendapat kalian tentang ide cerita ini. Kira-kira sudah cukup menarikkah? Apa yang kalian rasakan saat membacanya? Lucu? Atau malah bergidik ngeri?

Sampaikan pendapat kalian di kolom komentar!


Keep writing, keep learning

Enjoy your works!

Sampai jumpa di part berikutnya!

Daripada Gak NulisWhere stories live. Discover now