Chapter 2: Imaginary

848 27 9
                                    

Chapter Summary: Imaji bukan impian yang akhirnya menjadi kenyataan. Meskipun dunia nyata tetaplah dunia nyata, dan imaji tetaplah imajiner.

***

"Gadis itu tiba di dunia fantasi itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Gadis itu tiba di dunia fantasi itu."

Canna jatuh dan terbanting keras di suatu tempat―untung saja cahaya kerlap-kerlip misterius segera menopangnya dan membawanya turun secara perlahan. Berdirinya tidak stabil, kepalanya masih berputar-putar. Tentu saja ia merasa pusing setelah jatuh melayang cukup jauh di kegelapan ala Alice in Wonderland.

Tiba-tiba aroma dedaunan dan kayu-kayuan yang manis merasuk indera penciumannya. Canna mengerjapkan mata beriris birunya dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Merasakan semacam déjà vu. Jalan setapak yang rapi, rumput pendek, pepohonan berdaun gelap beragam tinggi dengan tubuh meliuk sana-sini, kicauan riang burung, aneka bunga yang mencuat dari tanah, cahaya minim yang merembes melalui dedaunan. Canna menatap semuanya dengan takjub.

"Sang Tulip Kuning yang ketika itu hendak memeriksa Hutan Welgon, kebetulan lewat dan menemukannya."

Gadis berambut jingga itu tidak tahu harus sedih atau senang. Ia hanya syok saat ini. Langkah kakinya terseret menuju gerbang tanpa pintu bertekstur ranting kayu mahogani dan bertempelkan dedaunan lebar. Ada kayu berukir tulisan "Welcome" yang memiliki lekuk tulisan italik yang artistik di atas gerbang.

Persis dengan yang terlukis di angan-angannya selama ini.

"Hei, siapa kamu?"

Canna terkesiap mendengar suara rendah laki-laki yang tegas―sekaligus lembut. Suara itu terdengar nyata, sangat nyata. Ia menoleh dan mendapatkan seorang laki-laki tinggi berpenampilan elegan dan rapi. Pakaiannya seperti setelan pelayan semi kerajaan. Kulitnya halus, putih sempurna. Rambut pirang keemasannya yang panjang―untuk ukuran laki-laki―diikat ke bawah. Kontur wajahnya lembut dan teduh ala orang-orang golongan kelas atas. Tampan, semua orang akan berkata demikian. Matanya yang berwarna biru langit bertabrakan dengan milik Canna yang berwarna senada. Pria yang sangat familier bagi Canna itu terkejut saat melihat sosoknya.

"C-Canna?"

Astaga, sesuai skenario.

"Tulippe?"

***

Canna termagu-magu di sebuah balkon istana. Penampilannya berubah total dari ujung rambut ke ujung kaki. Rambut oranye miliknya diikal dan dikuncir kuda tinggi memakai jepitan yang dihiasi permata dan bunga berkelopak oranye. Wajahnya dipulas make up tipis natural―yang sebenarnya tidak terlalu disukainya. Tubuhnya dibalut gaun yang panjangnya di bawah lutut, tapi tidak sampai mata kaki. Gaun itu mewah dengan warna didominasi oranye seperti daun maple di musim gugur dan dekorasi rumit yang membuat Canna tak nyaman. Korset dilepasnya diam-diam di kamar pribadinya yang disediakan. Sebut Canna tak mengerti fashion, tapi ia bersumpah memakai gaun itu, sepatu hak tinggi, aksesoris berkilau―yang sudah dengan absolut dilepasnya seluruhnya―dan melapisi wajah dengan bedak make up, eyeshadow, dan apalah yang dipakai geng penindas bitchy di sekolahnya, membuatnya sangat tak nyaman.

Painful RealityWhere stories live. Discover now