Chapter 4: Choice

469 21 18
                                    

Chapter Summary: Ketika dihadapkan pada situasi hidup atau mati, seseorang mau tak mau harus memilih. Demikianlah ketika menentukan jalan hidup. Semua bergantung pada pilihan dari satu individu. Dan kemudian, semuanya berakhir.

***

Detikan jarum jam mengusik kesenyapan kamar. Menunjuk detik keenam belas, sekelebat benda hitam melintas di depan jendela menghalangi cahaya perak bulan. Hanya sekilas. Menunjuk detik ketiga puluh, bunyi kesakan ranjang kembali meramaikan detikan jam. Bukan untuk pertama kalinya itu terdengar.

Canna tidak bisa tidur.

Mata dan raga boleh lelah, tetapi pikirannya terus-menerus sibuk. Bukan keinginannya juga untuk menjadi remaja galau yang meringkuk di ranjang sepanjang waktu. Salahkan Franzu.

'Pikirkanlah tentang ini, Canna.'

Oh, memori itu kembali lagi.

'Aku tak memaksamu. Kamu bebas memilih tinggal di sini atau kembali ke dunia nyata. Tidak masalah jika kamu menolak permintaanku.'

Berhenti di sana, pikiran. Berhenti mengulang.

'Kuharap besok kamu sudah bisa putuskan karena kamu tidak punya banyak waktu.'

Oke. Semakin lama pikirannya makin kacau. Mengulang-ulang perkataan Franzu yang membuatnya lebih frustrasi dari kapan pun.

'Semua ini, dunia fana ini, hanyalah satu kepalsuan besar. Kamu membohongi dirimu. Kamu melarikan diri dari kenyataan ke dunia yang artifisial ini.'

Jangan. Jangan itu lagi.

'Aku sendiri adalah tidak nyata, entitasku palsu. Dan hubungan kita―sama saja dengan kamu memiliki kekasih imajiner yang kamu bisa kendalikan layaknya robot.'

Tidak! Cukup. Canna sudah cukup menangis. Jangan lagi. Ia sudah lelah.

Reaksi tubuh tidak sejalan dengan pikiran; air mata menggenangi kedua pipi gadis itu. Tidak tanggung-tanggung.

Ya ampun, kenapa fakta harus begitu menyakitkan seperti ini? Apa ia belum cukup frustrasi sudah?

'Karena ini kenyataan.' Suara Franzu kembali berdengung di otaknya.

Kenapa―Kenapa Franzu yang diciptakannya berintelektual tinggi itu bisa bersikap diluar keinginannya?!

Terbentuk di pikiran adalah senyum pahit lelaki pirang elok. 'Karena kamu penciptaku.'

Semuanya semakin tidak masuk akal.

Didera depresi tingkat akut, Canna memberantakkan rambutnya, bangkit dari ranjang. Tak peduli penampilan kacau luar biasa. Diambilnya mantel jubah tebal dan dibantingnya pintu keluar. Sasarannya tak lain adalah taman istana.

Temperatur udara malam lebih dingin dari yang dikiranya. Sampai-sampai asap menguap ketika melakukan ekspirasi. Sepertinya keluar rumah malam-malam memang bukan opsi yang terlalu baik.

Berjalan dengan sedikit gemetar, tiba-tiba sebuah suara samar mengusik nyanyian jangkrik. Itu suara―seruling.

Penasaran menenangkan tremor di kaki Canna, memudahkan akses berjalan. Lama-kelamaan mulai jelas bahwa seruling itu tidak dimainkan sembarangan. Dimainkan dengan teknik, ada tempo, nada, dan―

Perasaan, jika kau mendengar lebih teliti.

Melewati sebuah tanaman tak diketahui namanya, otak Canna memilah data dunia imajinernya. Siapa karakter yang bisa bersuling?

Syal panjang abu-abu polos. Surai biru keunguan kelam langka. Winter dress sepanjang paha, lengkap dengan boots selutut warna hitam berhak tinggi mengkilap. Seruling klasik panjang yang menempel di bawah bibir. Kulit putih cemerlang dan wajah dingin anggun tanpa polesan make up berarti. Eyeliner hitam tebal pembingkai mata hitam brilian yang bersinar bak langit malam. Sendu ekspresif yang membingkai keseluruhan fiturnya. Cantiknya kegelapan malam, seperti kupu-kupu biru kelam.

Painful Realityحيث تعيش القصص. اكتشف الآن