Chapter 16

245 9 0
                                    

Fran's point of view

_______________

Gue terbangun ketika matahari terbit, sinarnya begitu menyilaukan sehingga gue terpaksa membuka mata. Ketika gue bangkit, Karin sudah nggak ada di kursi belakang. Dia meninggalkan selimut dan sweaternya.

Gue berjalan keluar, merasakan angin pagi hari yang menusuk tulang. Panorama pantai darisini tampak begitu indah, langit jingga dan bau basah sisa gerimis membuat gue merasa sedikit lebih rileks.

Karin sudah duluan ke tepi pantai, dia mengenakan jumper gue yang jatuh diatas lutut. Tampak kebesaran untuk tubuh mungilnya. Dia duduk di atas batu besar, matanya lurus menatap gulungan ombak.

"How's your sleep?"

Gue berjalan mendekatinya, merasakan pasir putih di sela jari kaki. Dia menoleh sebentar ketika gue bertanya. Kemudian kembali menatap laut.

"Sleep in the car. you know how it feels." Dia menjawab skeptis, tanpa melihat gue.

"I've tried to make it comfortable for you." Gue mengangkat bahu, lalu duduk disampingnya. Dia bergeser sedikit, seperti ingin menjauh.

"Why? you still mad at me?" Gue meliriknya. "You mad because of last night?"

"Why did you do last night?" Dia menatap gue curiga.

"I mean, that film. You still mad because I show you that?"

"No." Dia menggeleng. "Kenapa harus marah? Aku sendiri yang minta kan?"

Gue terdiam. "So why you act like this?"

"Like what?"

"Like you ignoring me."

Dia tidak menjawab. "Lo nggak bilang apapun setelah gue menunjukan itu." tambah gue, berusaha mengontrol emosi.

Dia melirik gue. "Did I suppose to say something?

"What do you want me to say? a thankyou?"

Gue menghembuskan nafas. merasa letih dengan semuanya. Gue membiarkan hening mengisi sebentar. Lalu dia berhenti menatap gue.

"Kenapa lo pergi?"

tiba-tiba, pertanyaan itu meluncur begitu saja. Gue tahu ini adalah waktu yang tepat, dan gue nggak akan menyianyiakannya lagi dengan berpura-pura. Gue harus tahu, gue harus mendengar itu langsung darinya.

"Kenapa waktu itu lo menghilang tanpa kabar dan nggak berusaha menghubungi gue?"

Gue menarik nafas.

"Kenapa lo memutuskan hubungan itu begitu saja, tanpa membiarkan gue tahu alasannya? Gue butuh penjelasan, Rin."

Karin masih membeku. "Apa emang lo udah berniat untuk meninggalkan gue?"

Diantara hembusan angin, gue merasakan gejolak emosi dan rasa sedih yang jadi satu. Gue bersumpah ingin berteriak, ingin melepaskan beban ini dan menunjukan pada Karin bahwa dia, dia yang paling menyakiti gue dalam hubungan ini. Dia yang membuat gue berantakan.

"Kenapa? Apa lo nggak bisa jawab?" Gue memandangnya. "Apa nggak ada satu alasanpun?"

"Aku ingin ngelanjutin hidup, Fran." Akhirnya dia mengatakan itu. "Tanpa kamu."

Kali ini, giliran gue yang membeku.

"Aku ingin kamu melupakan aku." Suaranya bergetar. "Aku ingin kamu sayang dan bahagia sama orang lain."

"Kenapa?" hanya itu yang keluar dari mulut gue.

"Beri gue alasan."

Dia terlihat ingin menangis. Kedua matanya berkaca-kaca. Gue berusaha sekuat tenaga untuk tidak termakan airmatanya lagi. Gue mengalihkan pandangan.

"Karena kita terlalu beda, Fran." Dia bergumam. "Kita jauh."

"Apa maksud lo kita jauh? Gue nggak pergi kemana-mana. Gue tetap disini, meski kita beda kampus dan fakultas, lo masih bisa main ke rumah gue. Kita masih bisa seperti dulu."

"Apa lo nggak berusaha untuk mempertahankan hubungan itu? Why you gave up on me?" Gue menghela nafas.

"Aku.... nggak bisa, Fran. kita hanya dua anak SMA yang baru mengerti cinta."

"Tapi kenapa lo harus pergi tanpa kabar? kenapa lo memutuskan dengan gampangnya dan nggak peduli perasaan gue?"

"Aku peduli." Dia menoleh. "Aku begitu karena nggak ingin menyakiti kamu lebih jauh."

"Gue nggak ngerti apa yang lo omongin, Rin."

"Just forget me, Fran. Move on, you deserve a better love." Dia menitikkan airmata pertama.

Gue bangkit, berusaha mengalahkam hati dengan emosi yang sudah membuncah. Gue tahu dia menangis. Bahu itu kembali terguncang.

Namun kali ini, gue nggak ingin menoleh ke belakang. Gue nggak ingin menyianyiakan hidup lagi karena memikirkan dia.

Dia adalah masa lalu, dan selamanya akan menjadi masa lalu.

Gue menatapnya sekali lagi, mungkin untuk terakhir kali. Ketika gue mengatakan itu, gue tahu gue sudah menyakitinya.

"You're just full of bullshits."

***

Together with The SundownWhere stories live. Discover now