Chapter 7

338 13 0
                                    

Fran's point of view

_______________

Gue dan Karin berdiri di depan sebuah kedai tempo lama yang klasik banget. sebuah tempat yang mencolok diantara deretan pertokoan biasa. begitu masuk ke dalam, gue merasakan atmosfer jadul dan nostalgia tahun sembilan puluhan. Sesuatu yang bikin gue makin ingat masa lalu.

Karin melirik kearah gue, sepertinya gue berhasil bikin dia kagum. "this place is quite amazing. darimana kamu dapet rekomen tempat kaya gini?"

Gue menyengir. "Selera gue kan emang nggak jauh-jauh dari lo. yang penting ada kopi enak dan tempat buat baca tanpa gangguan, thats perfectly fine for me."

"Yeah, two thumbs for that." dia mengacungkan kedua jempolnya. mungil, sama kelingking gue aja kayanya kalah gede.

"Nah sekarang, lets get the menu. Lo pilih apa aja, gue yang bayar." Gue mengajaknya ke depan etalase besar berisi cup-cup es krim matcha. Seorang penjaga tersenyum kearah kami berdua.

"I think you're gonna order some greentea ice cream." gue mengerling sambil tersenyum kepadanya.

"Darimana bisa nebak gitu?" Karin melirik gue.

"Yeah you tea lover. Dari mulai latte sampai es krim kayanya nggak jauh jauh, greentea mulu."

Dia tertawa, lalu melihat-lihat kedalam etalase kaca. cookies and cream, raspberry, red bean, chocolatte, dia pasti ingin semua.

"I think I wanna get some vanilla right now." Dia menunjuk cup besar berwarna putih lalu tersenyum.

"Okay, so do I" gue memesan dua cup es krim rasa vanilla dengan topping yang sama. Setelah penjaga itu memberikan pesanan kami, gue dan Karin memilih tempat duduk di dekat rak buku besar. Dua sofa kulit yang super empuk.

"Tumben lo jadi suka vanilla. Gue dengar greentea matcha disini yang paling enak. Nyesel loh kalo nggak nyoba." Gue memandangnya yang sudah belepotan menjilat es krim. wajahnya kelihatan polos, seperti anak kecil yang baru dapat lolipop kesukaan. Gue mendadak gemes.

Dia menyegir, lalu mengambil selembar tisu dari tasnya dan mengelap noda es krim di ujung bibir. "Emangnya harus greentea terus ya? greentea kan kadang-kadang pahit kadang-kadang manis, kaya hidup."

Gue tertawa mendengar filosofi itu. "Dasar penulis. apapun bisa dijadiin peribahasa."

"Ih serius. terkadang kita menyadari seasuatu lewat hal-hal kecil kaya gitu, tau." Dia menambahkan.

"Apa hubungannya hidup, greentea, sama pilihan es krim vanilla lo?" Gue membetulkan posisi duduk, memandangnya lurus.

"Well, terkadang kita punya satu pilihan yang monoton dalam hidup. yang nggak pernah berubah, yang itu-itu aja, yang nggak keluar dari comfort zone kita. Satu-satunya alasan kita tetap memilih itu, karena kita udah terbiasa."

"Kita tahu, apapun yang dipilih, sebenarnya punya kelemahan dan kelebihan. contoh kecilnya, kesukanku sama greentea. Aku selalu milih itu karena terbiasa oleh rasanya. oleh pahit manisnya. Sama seperti hidup juga, kita memilih sesuatu karena terbiasa. Tapi apa salah, jika suatu saat, kita ingin keluar dari comfort zone itu dan meninggalkan kebiasaan kita? apa salah jika suatu saat kita ingin memilih yang menurut kita lebih baik, lebih manis?"

Dia menghela napas. "well, that's why I choose vanilla instead of greentea. Itulah alasan kenapa aku mengiyakan ajakanmu kemarin, dan duduk disini. aku ingin keluar dari zona nyaman, bereksperimen tanpa takut sakit hati. Aku ingin mencoba, menentukan pilihan yang berbeda, dan siapa tahu, segalanya terasa lebih manis seperti vanilla ini. who knows?"

Gue membeku. Nggak bisa menanggapi kata-katanya. sama sekali. Gue hanya duduk diam, mendengar semua kalimat itu keluar dengan lancar dari mulutnya seperti sesuatu yang sudah dilatih sejak awal. Gue... terpesona. begitu terpesona sampai nggak bisa ngomong.

Dia terlihat kikuk ketika hening mengisi terlalu lama. "You must be thinking that I'm a weirdo right now. Do you?"

Gue mengangkat kedua tangan, jujur terpujau dengan kata-katanya. "No, You seriously blew my mind, Rin." 

She obviously amazed me. 

"Bukan improvisasi kok. seperti yang kubilang, it's just simple things that made me realize how complicated life is." Dia kembali tersenyum.

"Lo melihat hidup dari segi hal-hal kecil yang nggak gue kira. And actually, itu filosofi paling absurd yang pernah gue dengar. Tapi yang paling keren juga." Gue menjilat puncak es krim dan topping cokelatnya yang meleleh.

"Thankyou, you could make a quote from that." Dia tertawa kecil lalu menunduk ketika gue memandangnya terlalu lama.

She's a grown up women now, gue berugumam dalam hati. I know I shouldn't stare at her like this. But could I take a moment to see how beautiful she is?

Gue jelas memilih tempat yang paling pas buat kami berdua. terutama buat dia. Karin duduk membelakangi jendela besar yang memantulkan cahaya matahari and somehow, she looks like shining in front of me. i don't know why suddenly I thought like that, but I guess this old feeling and memories rushed back.

***

"Lo percaya pada keseimbangan hidup?"

Setelah mampir dan mengobrol di kedai es krim itu, gue juga Karin memilih jalan-jalan di sekitar toko buku. Its quite strange, karena gue merasa ini persis kencan-kencan kami dulu. And every single thing I do with her, it reminds me of the good old days. Waktu kami masih sepasang anak SMA yang baru mengerti cinta.

Karin tertegun begitu mendengar pertanyaan gue. Dia berhenti memilih buku yang terpajang di rak novel. "Actually, yes i do." Katanya.

"Do you believe that life is like a roller coster? terkadang kita berada di atas, terkadang juga dibawah?" Gue menatapnya.

"Ya, seperti itu. Tapi nggak ada orang yang sepenuhnya bahagia atau selama hidupnya menderita. selalu ada waktu dimana hidup berputar, dan segalanya berganti membentuk keseimbangan." Dia balik menatap gue. Di tangannya, sebuah novel sastra asing terbuka. Gue melirik sekilas, novel yang bahkan pengarangnya sama sekali nggak gue kenal.

"Why you asking me that?"Tiba-tiba dia bertanya. "I guess kamu ketularan jadi suka filosofi gara-gara tadi." Ujarnya tersenyum geli.

"No, nggak ada kamusnya gue jadi kutu buku kaya lo, ya. Paling mentok-mentok yang gue baca itu ensiklopedi atau buku pelajaran."

Dia terkekeh. "Ya, mungkin aja. Tapi kalo kamu suka, I have so many books that will blow your mind. Kamu bisa memaknai setiap hal dalam hidup. Sekecil apapun itu."

Gue berjalan kearah rak buku tentang kesehatan, lalu mengambil satu yang menarik perhatian. "No, thanks. Gue akan baca ini aja. Literature kills me"

Dia tergelak. "Yeah, but when you read that for the first time, you would fall in love. I promise."

Gue berbalik menghadapnya, nggak sadar kalau sejak tadi dia berdiri di belakang gue. Dia menegang ketika gue mendekat beberapa langkah.

"Its like the way you fall in love with all those fictions?" Gue berbisik, dia membeku sesaat, terkesiap.

"Or its like the way you fall in love with someone?"

Dia terdiam. matanya memandang gue lembut. Gue ingin maju satu langkah lagi. Ingin menghilangkan jarak diantara kami dan mengikuti kata hati.

Dia masih belum menunjukan gestur apapun. Gue memandangnya, mencari sesuatu yang barangkali dia sembunyikan. Tapi gue nggak menemukan apa-apa selain refleksi wajah gue yang berdiri menghadapnya. Ketika gue mulai berpikir untuk mundur kembali, menyalahkan pertanyaan bodoh gue ini, dia justru mengambil satu langkah lebih dekat.

Ketika dia mengatakannya, gue menemukan sedih dan luka lama yang ternyata berhasil gue buka.

"Its like the way you fall in love with something that you know would love you back."

***

Together with The SundownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang