5

12.1K 1.2K 15
                                    

Bagi Refa benar-benar menyebalkan, artis memang memiliki kadar kesombongan tersendiri. Semua media bohong Saat memberitakan artis-artis di sana baik hati. Tidak ada yang tulus baik.

"Saya rasa, ini penawaran yang berlebihan. Saya masih bisa mencari pekerjaan untuk memenuhi ekonomi keluarga saya," elak Refa pada kedua lelaki yang kini duduk berhadapan dengannya.

Artis yang menurut Refa songong itu terlihat mendengus, cukup kentara jika dia terlalu meremehkan Refa. "Kamu itu kerja juga, sebagai asisten saya. Apanya yang menjatuhkan harga diri kamu, sih?"

Dari penglihatan Refa, jika Ali mengusik lengan lelaki itu. Refa sadar, kesopanan hanya pantas diberikan untuk Ali... bukan lelaki itu.

Ali menggeser kursinya, dan mencoba membuat suasana lebih cair, tapi bagi Refa tidak akan bisa mencair jika ada Saga. "Ehm, gini, Refa... kamu bisa memikirkan ini nanti. Kami nggak akan memaksa, kamu bisa hubungin saya. Oke?"

Refa mengangguk patuh, dan mengerti untuk kembali bekerja. "Saya, permisi." Sekali lagi, Refa bersikap sopan karena Ali dan bersikap sebagai pekerja.

Lamat-lamat, suara perdebatan antara Ali dan artis itu bisa Refa dengar.



Refa kembali ke rumah untuk mengemasi barang-barangnnya. Bukan karena diusir, tetapi Saga yang berhasil membuat kontrak tersebut untuk ia tanda tangani.

Tengah malam, saat Refa berangkat menuju toserba, ada lelaki yang bertemu dengannya bersama Ali---kakak kelasnya saat di resto.

"Kenapa kamu di sini? Resto udah tutup," kata Refa dengan mengira jika Saga ingin mengunjungi resto.

"Tanda tangan, dan kamu akan terbebas dari keluarga gila kamu, princess!" ujar Saga dengan menekan kata princess.

Refa menengadahkan kepala, memandang langit malam yang sepi akan keberadaan bintang, dan menghirup kalap udara agar merasuk dalam paru-parunya. "Kamu penguntit?" Refa memicingkan matanya tak percaya.

"Ayah kamu cukup bodoh untuk mengumpulkan hutang pada kasino milik sahabat saya."

Telak Sudah, Refa merasa sangat gila karena sikap Saga yang mengetahui segalanya. "Tanda tangan, maka hutang ayah kamu lunas, dan ibu serta adik kamu bisa membebaskan kamu."

Dalam hati, Refa merapalkan kalimat aneh. Antara bersyukur, atau malah memaki Saga yang mengatakan kebebasan... seolah dirinya adalah tahanan rumah.

"Oke. Saya turuti keinginan kamu, sekarang... kamu bisa pergi, bukan?"

Dengan senyuman khas nya, Saga menuntut Refa agar mengerti alasan lain kenapa Saga masih enggan untuk beranjak. "Baca ketentuannya," sahut Saga memecah teka-teki kening Refa yang berkerut.


Di sini Refa berada, rumah menawan yang terasa nyaman, sangat luas hingga menimbulkan kesepian jika hanya terhuni oleh satu orang---Saga. Katakan jika Refa 'kampungan' karen baru kali ini, Refa bisa merasakan sendiri, tanpa harus menghayal tinggi untuk tinggal di rumah megah seperti ini.

"Bawa koper kamu ke lantai tiga," kata Saga membuat Refa menghadapnya terkejut. Saga menaruh gelas mineralnya, mencoba membaca arti ekspresi Refa. "Kenapa?" tanya Saga kemudian. Tidak mudah ternyata menyesuaikan diri dengan asisten yang lebih terlihat sebagai tamu norak-nya.

"La...lantai tiga?" tanya Refa gugup.

Saga meringis konyol, hampir saja dia terpingkal akibat mimik serta pertanyaan Refa.

"Jangan ketawa!" Refa tidak menyukai sikap balasan Saga. Setidaknya, mana tahu jika di dunia nyata ada tempat tinggal se-gila ini. Lagi pula, Refa tidak pernah melihat rumah Rega, dulu. Meski mereka menyandang status pasangan kekasih.

"Haha, oke, oke. Hmpt, kamu bisa naik lift yang ada di dekat tangga. Kamu nggak perlu naik tangga susah payah sambil bawa koper gitu." Saga berjuang keras agar tidak tertawa keras kembali.

Refa bersungut, tanpa memedulikan Saga yang kembali terpingkal, Refa menuju lantai tiga. Belum rapat pintu lift tertutup, Rega menatap heran. Benar saja, Saga menahan agar lift nya tidak tertutup. Akhirnya, Saga dan Refa berada dalam satu lift. Refa yang masih setia cemberut, membuat Saga gemas untuk mendengar teriakan Refa.
Refa menyadari gerakan tubuh Saga yang mendekatinya, dalam diam, Refa merasa sangat gugup. Berakhir pada batas lift, Refa tidak bisa berkutik lagi. Hembusan napas Saga menuai gelenyar aneh dalam batin Refa yang bergejolak.

Sebelumnya, Refa hanya dekat dengan Rega. Hanya dengan Rega, Refa bisa berani melakukan hubungan yang sebenarnya melanggar norma masyarakat Indonesia.

"Kenapa? Kamu, gugup, Refa?" tanya Saga dengan jenis suara buatannya. Refa bergeming, memilih menatap wajah Saga yang memunculkan kernyitan tajam Refa.

"Memangnya, aku bisa gugup dengan lelaki yang baru saja ku kenal?" timpal Refa menguatkan diri, satu-satunya cara... tidak terlihat lemah pada siapa pun.

Seringai Saga membuat bulu kuduk Refa berdiri, bodoh saja jika wanita tidak tertarik dengan godaan maut Saga, Refa mengakui itu.

"Sepertinya, waktu terasa lama akibat posisi kita yang intim seperti ini."

Saga memang brengsek mampu dilihat bagaimana lelaki itu membuat godaan pada Refa.

"Mungkin, aku harus berusaha menikmati waktu yang terasa lama itu," sanggah Refa tidak kalah menggodanya.

Hingga suara pintu lift terbuka, tubuh Refa berada di himpitan tubuh Saga. Bibir Saga yang semakin mendekat, menepis jarak, dan menghantar kehangatan napas... Refa merasakan dengan hening. Saat hanya tinggal lumatan itu terjadi, Rera menghantuk kepalanya pada wajah Saga. Dengan keadaan merasa sakit, dan tepat di waktu yang sama, Refa menendang tulang kering Saga. Semakin kesakitan lelaki itu, semakin Refa tertawa puas dengan lelucon pertama yang ia buat.

SAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang