4

12.6K 1.3K 12
                                    

Seminggu berlalu, dan ini tepat hari ke delapan di mana Bian mengatakan pada Saga untuk rehat sejenak. Rehat, dalam artian mereka tidak bertemu dan melakukan banyak hal dalam jangka waktu yang belum bisa ditentukan. Agak aneh memang, karena biasanya Bian adalah pihak yang paling tidak bisa melepaskan Saga. Dan, kali ini, entah untuk alasan apa... Saga juga tidak boleh mengetahuinya.

Saga mengangkat panggilan Ali. "Kenapa, Li?" sahut Saga dengan menatap diri di depan cermin. Malam ini, Saga ada jadwal menghadiri acara talkshow menjadi salah satu narasumber mengenai wajah tampan tanpa operasi plastik. Agak aneh, karena trend tersebut membuat Saga hampir mati karena pertanyaan yang sama selalu muncul ke permukaan sebagai bahan pembicaraan.

"Gue mau mulai rekrut asisten buat lo, Ga. Bisa lo dateng? Soalnya, jadwal lo besok kosong!" ujar Ali yang kentara sedang berada di jalan.

Saga mengenakan jas hijau  dengan celana bahan berwarna abu-abu, dipadu dengan dasi kupu-kupu berwarna hitam. Kulitnya yang bersih, memperlihatkan Saga melebihi aktor Korea. "Kenapa nggak lo urus aja sendiri? Gue pengen menghabiskan hari libur buat mesra-mesra'an sama cewek gue," jawab Saga sengaja membuat Ali naik darah.

Saga akui, dia memang suka menggoda Ali. Karena wajah Ali yang bertekstur keturunan Arab dengan kulit manisnya, tak lupa lesung pipi menggemaskan.

Ali berdecak sebal. "Kalo, gue bisa bujuk tuh orang... Kaga bakal gue ngajak lo!" sungut Ali dalam telepon.

Dengan membuka deretan koleksi jam tangannya, Saga tetap menaruh ponselnya yang berisi suara Ali tanpa menyahuti saat sedang memilih sesuai keinginannya.

"Li! Kayaknya, gue emang butuh asisten, gila, gue baru sadar... koleksi aksesoris gue melebihi tante-tante girang kayaknya." Tanpa merasa terhina oleh tawa Ali yang memekakan telinganya, Saga memang bingung memilih sendiri.

"Cepetan, ah! Ntar gue diomelin sama produser songong acara banyak omong ITU!"

Menekankan kata yang membuat Saga terkikik sendiri. "Ati-ati, ntar lo suka sama tuh produser songong. Eh, tapi, cakep juga si Baron!"

Sekilas, nama Baron terdengar seperti laki-laki atau bahkan nama peliharaan, tetapi nama Baron yang asli adalah Baronia Agasya. Cantik, kan?

"Lo aja anjeng, yang bilang dia cakep. Udah tau bikin gedek!"

"Bawel! Lo rese' nya ngelebihin Baron. Nggak sadar aja, lo merhatiin dia mulu," jawab Saga seraya mematikan sambungan agar Ali tidak menambah pelik.

"Argh! Sial, susah juga kalo kagak ada yang bantu." Saga menggerutu sendiri.

Melelahkan, selama seminggu ini Refa memang kurang memiliki waktu tidur, dan tertambah tidak bisa tidur karena ulah ibunya dan Gea yang berteriak menyuruh layaknya pembantu.

Tepat tiga hari yang lalu, Refa bertemu kakak kelas SMP-nya, dia sudah menjadi manager artis, tetapi, tiga hari itu dia memaksa Refa untuk menjadi asisten artisnya. Jelas Refa menolak, karena menjadi asisten sama saja dengan seperti menempel pada arogannya sikap para talent itu setelah lelah bekerja.

"Fa, ada pesanan." Via bertitah, tetapi seharusnya dia bisa mengantar sendiri. Pekerjaannya bahkan sudah agak longgar.

"Kok, tumben? Kan kerjaan kamu bukannya udah santai?" tanya Refa yang memang berusaha memprotes, karena ia malas naik ke lantai tiga, lebih baik membersihkan meja-meja.

"Baru juga seminggu, Fa. Kamu udah mulai males?" Ucapan Via membuat Refa bangun kembali. Jika tidak bersemangat, bagaimana bisa bertahan lama di sini?

Refa meringis kuda, lalu  meraih nampan yang sebelumnya bertengger di meja pelayanan.

"Jangan ngambek, aku cuma bercanda, Vi." Berusaha melembutkan hati Via agar dia tidak mengatakannya pada pemilik resto.

"Yaudah, gih! Udah ditunggu," jawab Via.

Mencoba tidak menggerutu, meski dalam hati. Namanya bekerja, pasti lelah. Menjadi pemilik saja lelah... apalagi menjadi yang dipimpin?

Harus berapa jempol untuk mengakui ketangguhan Ali---kakak kelas Refa---untuk datang ke sini lagi? Berusaha menepis perkiraan, bahwa Ali akan membuat peejanjian kembali.

"Ini, pesanannya Tuan."

Jangan sampai terlihat bahwa kami memang kenal, meski tidak banyak orang, bahkan bilik di sini tertutup. Tapi, aku harus professional.

"Fa, duduk! Aku udah bilang sama bos kamu," kata Ali memulai.

"Kak, tapi-"

"Maaf, telat." Ada suara lain, lelaki juga, tetapi terlihat sangat necis.

Dalam hati, Refa mengatakan bahwa lelaki di hadapannya ini adalah aktor terkenal. Siapa namanya? Ya, ampun... aku lupa!

"Saga Hilmiya Putra," sahutnya dengan mengulurkan tangan. Sepertinya, dia pandai membaca perangai seseorang.

Refa membalas uluran tangannya, "Refa. Refa Andiniar." Tidak ada yang spesial, perkenalan dengan artis tersebut terasa biasa. Refa kira akan seperti apa, tapi memang jenis penampilan dan harum tubuhnya sangat berbeda.

Ali mempersilakan keduanya duduk, tanpa Refa sadar, pesanan di meja ini untuk tiga orang. "Jadi, kita mulai diskusinya?" mulai Ali.

"Eum, maaf... tapi saya rasa, saya nggak seharusnya ada di sini."

"Tolong jadi asisten saya," kata lelaki berbadan tegap itu. Kurasa dia sering melatih otot-ototnya... upsss!

Refa menghela napas sejenak, dan mulai memberanikan diri menimpal percakapan. "Apa keuntungannya?"

Lelaki itu mengeluarkan map biru, di dalamnya ada kertas, sebuah perjanjian. Seketika, Refa membelalakan mata melihat ketersediaan keuntungan yang ia akan dapatkan jika memenuhi menjadi asistennya.

"Kamu berpikir nggak, sih? Saya rela memohon kamu, berasa kamu yang artis!"

SAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang