Di genggamnya benda berwarna hijau mengkilat di lehernya dengan erat. Kata mereka, ini adalah benda yang selalu melekat di dirinya sejak ia kecil, dan mereka mengira jika kalung itu adalah peninggalan dari kedua orang tua kandung Sana.

Sana akan tidak peduli dengan kata orang dan terus percaya pada dirinya sendiri jika kedua orang tuanya tidaklah membuangnya dan ia percaya jika mereka masih ada dan sedang menunggu Sana pulang.

Ia lalu menyeka air mata yang sudah sedari tadi mengalir di pipinya dengan punggung tangannya.

Ia tidak boleh terlihat sedih di hadapan mereka, pantang baginya untuk membuat kedua orang tua angkatnya khawatir.

Ia kembali menatap dirinya lulus lurus merapikan sedikit serangamnya lalu Ia menghembuskan nafasnya kasar,  mencoba untuk mengukir senyum di bibirnya. Tidak boleh mereka tahu jika ia menangis pagi ini.

Segera ia beranjak dari depan cermin lalu pergi menuruni tangga dengan tas berwarna biru terang miliknya yang masih ia tenteng menuju ke ruang makan.

Pagi ini ia akan sarapan bersama dengan keluarganya, Sana segera duduk di meja makannya menatap kedua orang tuanya yang asik dengan kegiatan pagi mereka masing masing.

Sana's pov

"Oh kau sudah siap Sana-ah, bagaimana pagimu sayang?"

Itu ibu, dia sedang sibuk dengan sarapan paginya yang hampir siap, aroma dari makanan kesukaanku mulai tercium di indera penciumanku.

"Cukup baik eomma.." Ucap ku singkat, "eomma, tidak lupa membuat inari kan?"

Makanan berbahan utama tahu itu sangat aku suka dan selalu ada di setiap aku makan, terkadang ibu juga membuatkanku kitsune udon, dan itu benar benar enak.

"Tentu saja! ini, makanlah yang kenyang eoh!" Ucap ibu, sembari meletakkan sepiring inari di hadapanku. Tanpa basa basi aku segera menyambutnya dan memasukkannya ke dalam mulut ku.

"Hemmmm ini enak sekali!" Ucap ku dengan mulut penuh.

"Jangan bicara sambil makan, aku tidak mengajarimu yang seperti itu bukan?"

Itu ayah, dia sedang fokus pada koran paginya. Aku langsung mengunyahnya dengan cepat lalu meminum segelas air putih.

"Maaf,... Aku tidak akan mengulanginya lagi, appa!"

Ucap ku setengah merasa bersalah.

Keluarga angkatku mereka semua berasal dari Jepang, itulah kenapa mereka memberiku imbuhan nama Minatozaki di depan nama panggilanku.

"Ah ya, Sana-ah. Hari ini kita akan kedatangan pamanmu dari Jepang, jadi saat pulang nanti tolong belikan beberapa kue ya!?"

"Ne,....  baiklah."

Ucap ku lalu kembali memasukkan inari ke mulut ku, dan menikmatinya.

"Sampai kapan kau akan menikmati inarimu?"

Apa yang ayah bicarakan? Aku menghentikan kunyahanku sejenak,

"Kau akan menunggu gerbang sekolahmu di tutup dulu?" lanjut Ayah.

Ayah berbicara padaku dengan tatapannya yang masih fokus ke koran paginya.

Bodoh!

Sudah jam berapa ini Sana! Kau sudah terlambat sekarang.

"Aku terlambat!" Ucap ku lagi dan masih dalam mulut yang penuh.

"Sudah ku bilang jangan bicara saat makan!"

Ayah maafkan aku itu adalah sebuah ke spontanitasan, yang keluar begitu saja melalui mulutku. Aku segera meminum air putih untuk mendorong makanan itu lebih cepat masuk ke dalam tenggorokanku.

You Are My Mate? (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora