II. Kesialan Pertama

753 69 10
                                    

Aku terbangun dengan buku-buku yang masih berserakan di atas kasur. Setelah merapikannya, aku bergegas mandi karena waktu sudah menunjukan pukul 05.49.

By the way, tadi malam mama benar-benar nungguin aku belajar di kamar dengan mata elangnya. Berasa jadi mangsa, gerak dikit saja langsung ditikam. Tapi nggak sia-sia juga sih, karena otak kesumbatku ini setidaknya terisi sedikit dengan materi-materi ujian hari ini. Thank's, Mam!

"Pakai yang kuning atau ungu, ya?"

Aktivitas kecil tapi sangat-sangat berarti buat cewek fashion sepertiku. Prinsipku adalah matching. Mau itu ikat rambut, sepatu, atau aksesoris yang lain.

"Yang ungu aja, deh."

Aku menyisir rambutku cukup tinggi lalu mengikatnya dengan hairties ungu, agar senada dengan sepatuku walaupun sebenarnya aku pecinta warna kuning. Setelah menggunakan sedikit lip balm, aku menghampiri mama di meja makan.

"Ma, minta uang," kataku dengan wajah yang diimut-imutin.

Mama melirikku sekilas dan menjawab, "Nggak ada."

Ugh. Sakit banget, Mam!

"Kamu udah mama bekalin biar nggak jajan terus di kantin."

What? Bekal?

"Ya ampun, Mam! Mama 'kan tahu Dara nggak suka bawa bekal nasi. Kayak anak kecil tahu," rengekku.

Mama meraih tanganku dan memberikan kotak bekal berwarna cokelat muda. Lucu sih, tapi tetap aja. Gengsi.

"Sudah sana. Ingat pamit sama papa."

Aku menyeret kakiku menuju ruang kerja papa. Kebiasaan papaku, kalau nggak ada di meja makan, berarti papa lagi ngerjain tugas kantor yang sama sekali nggak aku ngerti.

Aku mengetuk ruang kerja papa. "Pa?"

"Hm?"

Aku menatap papa yang masih fokus dengan layar komputernya. "Dara berangkat dulu, ya," kataku sambil mencium tangannya.

"Hati-hati, Ra."

"Hm."

Aku sempat berpikir untuk meminta bekal uang pada papa, tapi melihat wajahnya yang sibuk, aku jadi nggak tega. Mari menangis berjamaah. Huaaa!

***

Aku memarkirkan motor merah kesayanganku di parkiran sekolah. Dengan santai, aku berjalan melalui koridor kelas yang sudah nampak ramai. Hm, ruangan lima di mana, ya?

"Dara!"

Aku menolehkan kepala dan mendapati Qiara yang berlari ke arahku. Rupanya sahabatku itu juga baru sampai.

"Ruangan kita sebelahan. Bagus, 'kan?"

"Lebih bagus lagi kalau kita satu ruangan, Qi."

Qiara menoyor kepalaku. "Keenakan lonya."

Kami berjalan menuju tangga yang ada di dekat kantin sekolah. Tidak terlalu jauh dari parkiran sih, cuman kalau ruangannya di lantai dua jadi malas turun ke kantin.

Tangga terakhir ... dan aku sampai di lantai dua. Dipikir-pikir ini sekolah tajir banget, satu bangunan bertingkat semua.

"Daaah! Semangat ujian, Daraku sayang!" kata Qiara sambil tebar-tebar cium dengan jarinya.

Huft, bilang saja dia senang melihat penderitaanku ini.

Saat aku masuk ke dalam ruangan, sudah banyak yang menempati meja-meja. Kalau tidak salah, aku berada di bangku nomor tiga dari kanan.

"Pagi, Dara!"

"Eh, pagi, Fir."

Ini Fira, teman kelasku. Nggak begitu akrab sih tapi nggak jarang juga jadi teman ngobrol masalah fashion.

Aku menaruh tas ransel berwarna abu-abuku di atas meja, lalu mengeluarkan buku catatan dan mempelajarinya lagi. Ah, aku merasa risih sendiri. Ini seperti bukan aku dan malah seperti Jo, teman kelasku yang super kutu buku itu.

Dan ... Oh! Dia duduk di depanku dan sedang menatap ...ku?

"Apa?" kataku dengan berlipat-lipat dahi.

Jo membenarkan kacamatanya yang terjatuh dan menghirup udara keras-keras. Kupikir dia terkena flu. "Sejak kapan kamu belajar?"

"Sejak tadi," kataku malas.

"Widih, widih. Pemandangan langka di hari pertama ujian. Beauty vloger kita belajar, Coy!"

Sialan Doni! Sekarang aku menjadi pusat perhatian akibat suaranya yang toa itu. Eh, ngomong-ngomong, kenapa ada wajah-wajah muda yang nggak aku kenal di kelas ini?

"Dara belajar? Tumbenan banget." Erlin menunjukkan cengirannya dari depan pintu.

"Gue tobat," kataku asal.

Dan kalian tahu bagaimana respon teman-temanku? Mereka mengurut dada sambil berucap 'syukur'. Apa aku memang orang terbego di kelas ini, ya?

"Kalau gini, rata-rata kelas kita bisa naik. Semangat ya, Ra, dan semuanya. Kita pasti bantuin kamu. Tapi nggak dalam nyontek, ya." Lalu, terdengar gelak tawa dari berbagai arah yang membuatku ... err, sedikit badmood.

Ngomong-omong, murid-murid di sekolah ini memang pintar-pintar, jarang banget buat mau diajakin nyontek. Dan aku masuk ke sekolah ini juga lewat jalur prestasi dari berbagai lomba—pastinya masih tentang fashionsemasa SMP dulu. Hanya ada satu alasan kenapa aku sekolah di sini: dipaksa mama. Beliau percaya banget sekolah ini bagus karena namanya udah terdengar di mana-mana. Awalnya aku nolak, tapi ayah juga ngebujuk. Jadilah, aku duduk di kelas ini untuk mengikuti ujian tengah semester pertama di tahun kedua.

Kelas tiba-tiba hening. Aku mengangkat kepalaku dan dua orang guru masuk. Buku-buku yang kukeluarkan kutaruh di tas. Tunggu, mana teman dudukku?

"Pagi, Anak-anak."

"Pagi."

"Sebelum memulai ujian, bapak akan membacakan beberapa peraturan yang tidak boleh kalian lakukan selama proses ujian. Pertama...,"

Kuedarkan seluruh pandanganku. Perasaanku mendadak nggak enak. Aku nggak yakin kalau harapan untuk duduk dengan kakak kelas yang baik, pintar, nan kece akan terwujud karena—

"Maaf, Pak. Saya telat."

—dasi mereka strip satu. Iya, dasi anak cowok yang masih berdiri di ambang pintu dengan napas ngos-ngosannya bergaris satu. Ah, kampret.

"Cepat masuk. Untuk hari ini saya beri toleransi, tapi seterusnya jangan diulangi lagi."

"Terima kasih, Pak."

Riwayatku benar-benar tamat semingguan ini. Au ah! Pusing!

"Eh?"

Aku melirik sekilas pada adik kelas tadi yang ternyata teman dudukku. Kenapa dia diam sambil berdiri begitu? Dan kenapa lagi-lagi semua kelas menatap ke arahku?

"Apa?!" tanyaku galak pada Jo dan cowok itu beringsut sambil menunjuk-nunjuk ke arah samping.

Kutolehkan kepalaku dan mungkin ini adalah awal dari segala perubahan yang terjadi dalam hidupku. Mata cokelat terang yang tertimpa sinar mentari pagi begitu menawan, mataku bertemu dengan matanya. Dan bagaimana bisa aku berkata bahwa matanya itu indah?

"Hmm." Aku bergumam tak jelas. Aku akui mungkin ini bentuk kesalahtingkahan karena adik kelasku itu menatapku tanpa kedip. Tapi, juga tidak ada senyum. Datar-datar saja tapi aku merasa diintimidasi.

"Kamu yang baru datang, ngapain berdiri terus?" bentak sebuah suara, siapalagi kalau bukan dari pengawas ruangan.

Dan tiba-tiba, semuanya menjadi awkward, saat kukira, salah satu temannya berkata keras, "Arya kena syndrome love at the first sight tu, Pak!"

"Cieeeeee!"

Kesialanku baru dimulai dari sekarang.

#TESTMATE#

26 September 2016

Testmate [10/10 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang