|| Prolog A ||

95.7K 3.3K 184
                                    

Halooo, aku akan republish seluruh cerita ini. Jadi yang mau baca, silahkan baca yaa. Thankyou.   
.
.
.

_Mauren_   

Aku benci saat seperti ini. Lebih baik nggak perlu dipanggil sekalian daripada harus bersanding dengan manusia menyebalkan yang sok kegantengan itu. Demi planet Neptunus aku nggak akan sudi.

Begitu namaku dipanggil, aku langsung berdiri tegak. Seperti biasa. Aku selalu memasang wajah penuh kemandirian dan tegas. Menurutnya, wajahku sok datar atau apalah terserah dia mau berkata apa. Tapi yang jelas aku nggak akan membiarkan dia tersenyum penuh kemenangan di atas podium nanti.

Sialnya yang kudapat pertama kali memang senyuman sinisnya. Menyebalkan sekali. Lagi-lagi hal ini terulang. Huh. Selama sebelas tahun berturut-turut aku selalu mendapat peringkat di bawahnya. Dan nasib sial masih datang hari ini. Bahkan dengan sangat telak.

"Well, selamat ya lo juara dua lagi. Lumayan lah. Nggak buruk-buruk amat, kecuali-" dia tersenyum lebar. "Kecuali fakta kalau masih ada satu orang lagi yang ada di atas lo. Ups!"

Aku tersenyum dingin. "Makasih. Tapi peringkat sama sekali nggak penting buat gue."

Dia mengangkat sebelah alisnya. "Oh ya? Bukannya lo udah kerja keras banting tulang demi dapet nilai UNAS tertinggi?"

Ugh... Sialan! Ya, dia tahu semuanya. Aku memang udah bertekad mengalahkannya bahkan sejak bertahun-tahun lalu. Aku belajar keras setiap hari demi nilai terbaik. Ikut try out sana-sini. Pulang malam gara-gara segudang les tambahan. Juga begadang tiap malam demi melahap buku Fisika dan Matematika yang aku sukai.

Tapi, apa yang kudapat? Peringkat dua? Again and again!

Salah seorang guru tampak menginterupsi kami. Beliau membagikan kami penghargaan satu per satu juga mengalungkan tanda kelulusan di leher kami. Aku hanya tersenyum tipis ketika salah seorang guru memaksaku untuk saling memberi selamat.

Sungguh ini sama sekali nggak pernah kuharapkan!

Aku menjabat tangannya dengan tegas. Dia tersenyum. Masih dengan senyuman yang sama. Penuh ejekan dan hinaan. Ugh! Aku benci banget sama dia! Dan untuk selamanya aku sangat-sangat membencinya!

Aku mengambil langkah cepat menuruni podium. Setelah acara dibubarkan, beberapa wali siswa berhamburan menemui anak-anak mereka. Dari jauh tampak Papi melambaikan tangan. Papi datang bersama Om Izzy, Om El, Om Fathur dan yang pasti Om Erro.

Om Erro? Yes. Siapa lagi kalau bukan papanya bocah tengil sok kegantengan itu. Dan Demi Planet Neptunus aku bersumpah kalau Om Erro yang ganteng banget dan berhati malaikat itu sangat nggak pantes punya anak tengil semacem Arnafenza.

Hell, dunia emang nggak adil! Katanya buah nggak jatuh jauh dari pohonnya. Lah kok ini jatuhnya jauh banget sih?!

"Sayang, sini dong foto bareng Papi."

Aku nggak begitu bersemangat ketika berjalan ke arah Papi. Apalagi sekarang dia ikut berjalan ke arah yang sama denganku. Dan sebelum aku berhasil merangsek ke arah Papi, dia menarik lenganku.

"Apaan sih lo? Mau ngehina gue nggak laku lagi?" teriakku marah.

"Lo nggak mau ngucapin salam perpisahan buat gue? Well, menurut gue, nggak ada salahnya kita maaf-maafan dulu sebelum pisah. Lima tahun lama banget loh. Nanti pasti lo kangen sama keunyuan dan keimutan gue."

Aku langsung pasang wajah mau muntah. Ini sudah menjadi aksi wajibku setiap kali dia mulai sok ngartis atau sok tebar pesona.

Sambil menyedekapkan tangan dan memasang wajah paling sinis, aku berkata. "Mending lo salam perpisahan aja tuh sama cewek-cewek lo. Sebelum mereka nangis gara-gara diputusin dan ditinggal pergi gitu aja!"

Archenemy Romance [CS 2nd]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang