[prolog] Selasa, 8 Februari

8.5K 666 30
                                    

14:29

Biru: Terang

Biru: Terang

Biru: P

Biru: P

Biru: P

Biru: P

Biru: Answer me, Terang!

Terang: Saya sudah bilang, berhenti hubungi saya. Kamu paham?

Biru: Kamu di mana?

Terang: Bukan urusan anda, tahu?

Biru: Terang, look. Ini hujan lebat. Kamu di mana? Biar aku jemput. Oke?

Terang: Keluarga saya tidak cukup kaya untuk membayar supir. 

Biru: Aku bukan supir.

Terang: Lalu apa namanya yang menyetir untuk mengantar pulang selain supir?  

Biru: Terang, aku sayang kamu. Aku cuma enggak mau kamu kenapa-napa. 

Read.

Biru: Terang. Tolong, jawab.

Terang: Satu, saya sudah di perjalanan pulang. Dua, berhenti peduli. Hubungan kita sudah selesai, Biru. Anda menyulitkan saya!

Biru: Terang, nanti malam aku ke rumahmu, ya?

Read.

Biru: Habis maghrib aku ke sana.

Read.

Biru: Sampai ketemu.

Read.

Terang menatap jalanan di depannya yang macet karena genangan air hujan dan gugusan pengendara sepeda motor yang menepi di bawah fly over. Dingin menyerang. Ia mengumpat kesal karena lupa membawa hoodie yang semalam sudah ia letakkan di sisi tas punggungnya. Satu-dua tetes air menerpa wajahnya, dari antara jendela yang tak bisa tertutup sempurna atau dari antara atap metromini yang sudah bocor sana-sini. Ia tau, kalau ia pulang dengan Biru, ia tidak akan seperti ini. Biru akan memastikan dia kering, mematikan AC lalu meminjamkan sweater. Mereka akan menyanyikan lagu yang terputar dari radio atau dari ponsel yang disambungkan kabel AUX ke stereo mobil lelaki itu. Tapi, di sinilah Terang. Sendirian dan kedinginan. Ia bahkan lupa rasanya sekesepian ini, mengingat terlalu banyak harinya dihabiskan bersama Biru. Terang menghalau dingin dan sepi, memuaskan dirinya dengan apa yang ada. Ia menyandarkan punggungnya ke bangku besi metro mini, berusaha menikmati semuanya. Sesederhana itu. Tapi, yang muncul di benaknya malah Biru. Lelaki ini yang dulu rajin pulang bersamanya dengan menumpang metromini ini. Lelaki yang rela naik bis karena Terang tidak mau diantar pulang sampai akhirnya Terang luluh. Lelaki yang menangkap senyum Terang dalam bentuk bayang yang terlukis jelas di jendela metromini. Lelaki yang membuat hati Terang jatuh--juga yang beratus hari kemudian, Terang temukan menghancurkan hatinya.

Sementara Biru, tidak jauh dari tempat Terang terjebak kemacetan, terduduk di salah satu bangku. Menatap hujan yang jatuh ke tanah. Membayangkan, apa yang dilakukan Terang? Apa Terang tidak kedinginan di luar sana? Bagaimana dengan hujan yang mengenai tubuh perempuan itu? Bagaimana jika perempuan itu sakit? Biru menatap layar ponselnya. Ia tidak bisa menahan diri. Maghrib? Yang benar saja, ini bahkan belum jam tiga. Biru tak akan bisa menahan khawatirnya selama itu. Ia berdiri, menaikkan hoodie untuk menghalau hujan, lalu berlari menuju parkiran mobil. Kendaraan roda empat itu terparkir manis di sana. Biru masuk dengan cepat. Tak ada Terang di sana.

Terang tidak mau mengingat Biru, tetapi benaknya tidak bekerja sama.

Biru tidak mau khawatir, tapi tubuhnya menunjukkan hal sebaliknya.

***

15:45 

Biru: Aku di depan.

Biru: Kamu gak bakal buka pintu?

Biru: Aku menggigil. Aku nembus hujan dari depan gang sampai sini.

Biru: Bentar lagi aku sakit.

Read.

Terang tau Biru ada di teras rumahnya. Terang tau seragam anak lelaki itu basah. Biru memang keras kepala, itu juga salah satu hal yang membuat Terang suka Biru. Tapi, hal ini juga yang kadang membuat Terang kesal. Biru terlalu keras kepala. Liat saja sekarang, lelaki itu berlari menembus hujan dari tempat Biru biasa memarkir mobil, lima puluh meter dari rumah Terang. Terang tau, Biru kedinginan. Tapi, ia juga tau, ini adalah tindakan benar.

18:26

Biru: Aku pulang dulu. Sebentar lagi orang tua kamu pulang. Aku enggak mau, mereka tahu kita kenapa-napa. Aku enggak mau juga masuk ke rumah kamu karena orang tuamu yang mengizinkan padahal kamu enggak. Aku enggak mau kamu terpaksa ngeliat aku padahal enggak mau.

Biru: Kamu jangan lupa keramas.

Biru: Aku sayang kamu.

Dari bagian hordengnya yang menampilkan teras, Terang menatap Biru yang kembali menembus hujan yang tinggal rintik. Menyisakan jejak di sana-sini. 

Termasuk di hati Terang.

Terang tidak mau rindu, tapi rindu tidak bisa dicegah.

20:01

Read

***

direpublish karena berbagai sebab :) 

Percakapan Biru TerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang