PERMAINAN HATI?

Mulai dari awal
                                    

"Pa, tadi Ivan gambar kapal terbang bagus banget!" celoteh si anak menggebu-gebu.

"Oya? Mana gambarnya? Papa mo liat," Gio menanggapi.

"Ada di Bu Guru. Tadi dikumpulin. Kalo Davi, tadi gambar bis!" anaknya suka cita bercerita.

Ahh... sudah berapa lama Gio tidak merasakan ini? Kesibukannya di katering memang menyita semua waktu untuk sang anak. Dia patut berterima kasih pada Fay yang membantu mengembalikan momen begini dengan Ivan.

Suga pamit pulang. Fay mengantar pegawai itu sampai ke teras depan. Lalu kembali menemui Gio dan Ivan yang masih mengobrol di ruang makan.

"Nanti sore anak-anak kepingin nonton bioskop," ujar Fay seraya duduk dekat Gio.

"Yee! Hore! Nonton! Nonton!" seru Ivan girang.

"Jam berapa?" Gio menoleh ke Fay.

"Mulainya jam lima. Nanti kita berangkat jam empat. Tak usah membawa bekal atau camilan. Kita bisa beli di sana," tandas Fay seperti tau isi pikiran Gio saja.

"Iya, Pa! Ivan kepingin makan popcorn! Kata temen-temen di sekolah, popcorn itu enak, dan harus dibeli kalo nonton di bioskop!" celetuk Ivan sambil mendongak ke Ayahnya.

Gio terharu. Dia memang belum pernah mengajak sang anak ke bioskop. Dia terlalu sibuk dan tak memahami Ivan punya keinginan mengenai hiburan.

Haruskah hal ini ia juga berterima kasih pada Fay? Oke, ingatkan dia untuk melakukannya nanti.

"Memangnya jagoan Papa pengen nonton apa?" Gio menciumi pipi tembem Ivan.

"Kartun robot! Temen-temen udah pada nonton. Cuma aku ama Davi yang belum. Pokoknya asik!" Ivan riang berceloteh.

"Makasih, ya Fay," Gio menoleh ke Fay disertai senyum tulus.

Orang itu, meski sering kasar dan seenaknya pada Gio, tapi selalu baik pada anaknya. Itu yang membuat Gio bingung, harus membencinya... atau menyukainya.

Eh? Menyukai?

Gio merasa pipinya menghangat tiba-tiba. Memikirkan dia yang menyukai kebaikan Fay, dan itu langsung menggiring Gio pada perasaannya sepuluh tahun lalu.

◆◇◆◇◆◇◆◇◆

Jam empat sore, ia dan Ivan sudah berada di mobil Fay dan meluncur menuju salah satu bioskop besar di kota.

Anak-anak berlarian senang ketika memasuki area toko jajan yang ada di dekat ruang tunggu.

Ivan ribut ingin popcorn berbagai rasa. Lalu jarinya juga menuding roti fla mocca. Dan tak lupa dua kotak kecil susu stroberi serta coklat.

Davi juga membeli popcorn sama seperti Ivan. Namun ia memilih snack ringan ketimbang roti. Dan juga memilih kotak jus daripada susu, meski Fay sudah menganjurkan susu seperti pilihan Ivan.

Keempat orang itu cukup menarik perhatian orang-orang. Terlebih-lebih Fay. Tak mengherankan, karena penampilan Fay sangat keren, berkaos polo ketat menonjolkan bentuk torsonya yang berotot, dengan sebuah sweater ditempelkan pada pundak, dan celana jins biru gelap model basic.

"Sweater ini untuk dipakai Davi kalo nanti dia kedinginan di dalam," demikian alasan Fay.

"Davi nggak akan kedinginan, kok Dad," sanggah ponakan yang telah jadi anaknya. Fay merespon dengan sebuah gusakan pada rambut Davi.

"Ya sudah, kalo gitu untuk Ivan saja, ya kan Van?" Fay menoleh ke Ivan.

Yang ditoleh malah menggeleng. "Aku juga gak gampang kedinginan, kok. Lemakku banyak, nih... nih..." Ivan justru menunjukkan pipinya yang gembil dengan lucunya.

Fay dan Gio tak bisa menahan geli dan terkekeh bareng. Gio lekas menciumi pipi sang anak, gemas.

"Oke... oke... kalo gitu untuk Papa Gio aja, deh kalo kalian gak mau. Papa Gio mau, kan? Kan?" Fay melotot lucu ke Gio. Kali ini gantian anak-anak yang tergelak geli.

Di dalam bioskop, mereka mendapat kursi di atas pojok. Duduk secara berurutan, Davi - Ivan - Gio - Fay.

"Dad gak di sebelah aku?" tanya Davi polos.

"Kan Daddy biar gampang kasihin sweater ke Om Gio," alasan Fay.

"Ohh, iya ya, betul betul betul!" Davi mengangguk lucu.

Maka, mereka pun mulai tenang, meski sekitarnya terdengar jeritan anak-anak yang juga menonton didampingi para orangtua.

Duo Bapak itu bersyukur anak-anak mereka tenang, tidak berkeliaran, ataupun menjerit-jerit ribut seperti yang lain. Itu sebenarnya karena Fay menjanjikan makan malam di restoran cepat saji kesukaan dua jagoan itu.

Gio heran, kenapa kursi di sebelah Fay kosong dua? Ternyata Fay sengaja membeli enam kursi. Dasar.

"Heh?!" Gio terkaget ketika tau-tau tangannya digenggam Fay. Ia sampai menoleh, namun Fay malah tetap meluruskan pandangannya ke layar di depan.

Akhirnya Gio hanya berasumsi, kalau itu hanya kelakuan Fay yang sengaja membuatnya GR, seperti yang sudah-sudah.

Kali ini Gio tak mau terjebak GR yang sama. Ia pun berusaha cuek, meski Fay meremas-remas tangannya, Gio mati-matian tak mau baper bila nantinya cuma dapat kata-kata menyakitkan seperti biasa.

'Ayo, Gio! Berjuanglah! Enyahkan GRmu!' demikian batinan Gio sepanjang film diputar.

Pulangnya, sesampai di rumah, ketika Ivan main sebentar di rumah Davi, Fay nyelonong masuk kamar Gio.

"Fa-- mmmcchh... mmmfsshh..." Gio tak sempat mengelak dari serbuan bibir Fay.

Pria tampan itu menindas melumat bibir Gio tanpa ampun, membuat Gio susah nafas, memukuli pelan dada Fay, meminta berhenti.

Namun Fay tak mau melepaskan. Sebagai gantinya, ia melembutkan ciumannya, tidak seliar barusan. Tangannya menyusup pelan ke tengkuk Gio dan satunya lagi mengelus punggung ayah Ivan.

Usai mencumbu Gio selama beberapa menit, ia pun melepasnya, membuat Gio pening, dan saat Gio sudah menyiapkan hati menerima ucapan kejam Fay, lelaki itu justru diam saja, pergi keluar dari rumah Gio tanpa berkata apapun.

Gio melongo. Ada apa ini? Tumben sekali!

Tidak. Tidak. Gio tak mau terjebak permainan tarik-ulur Fay yang kejam.

Lebih baik ia tak perlu memasukkan sikap dan ciuman manis Fay seharian ini ke dalam hati.

Jangan baper! Oke, Gio?!

====BERSAMBUNG====

Maap gais, baru bisa apdet hari ini.
Minggu lalu kena blank.
Minggu ini ternyata maag kumat.
Plus laptop en tab rusak.
Ya Tuhan... berasa komplit banget apesnya.
Terpaksa pake hape mungil nulis apdetannya. Hiks!
Oke, curhat kelar.
Vote en komennya jgn lupa, yak!
Tengkyu! Mumumumuu~ 😘

==[[ NATHAN RYUU ]]==

Masih Engkau #WattPrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang