Bab III

4.7K 543 89
                                    

GARDA memicingkan mata sembari mengamati kondisisekitarnya. Ruangan bawah tanah itu masih belum berubah sejak sebelum dia dikunci di dalam peti dan dikubur di bawah papankayu. Masih suram dan gelap, ruangan itu, hanya saja lebih banyak sarang laba-laba setelah ditelantarkan hampir dua dasawarsa. Sulit ditebak kondisi di luar sana, barangkali malam hari karena udara yang merembes melalui langit-langit kamar bersuhu cukup rendah—mampu Garda ukur melalui reseptor pada sensor di balik kulit sintetisnya.

Namun, bukan itu yang menjadi fokusnya kini.

Dengan bantuan cahaya dari batang lilin pendek di tengah ruangan, Garda pusatkan sensor-sensor pada mata untuk menelusuri sosok yang tengah membungkuk di hadapannya. Manusia itu, yang telah berani-beraninya mengusik istirahat panjang Garda, tampak sangat kepayahan. Keringat mengucur deras di kedua sisi wajahnya, merembes pada kain kaus yang lusuh. Resonansi emosinya amat menyedihkan. Putus asa. Duka mendalam. Pengharapan tak berdasar. Benar-benar tipe favorit Garda. Bila manusia itu seorang gadis jelita, pasti Garda sudah menunjukkan sedikit rasa iba kendati palsu. Garda perhatikan bahwa raut wajah si manusia memang lembut dan halus seperti perempuan, tetapi tetap saja, dia tidak doyan sesama jantan. Secara anatomi, tubuh Garda diciptakan menyerupai jantan, meskipun pada dasarnya dia tidak berjenis kelamin. Bukannya Garda punya nafsu atau sebangsanya. Dia hanya menuruti sistem dan nalar yang tertanam pada 'otak'-nya—yang sebagian besar terwarisi dari memori sang pencipta.

"Halo," sapa Garda, akhirnya mengucapkan sepatah kata setelah belasan tahun lamanya puasa bicara. Berbincang dengan dinding peti bukan hobinya, maaf-maaf saja. Si pemuda yang membuka peti serta-merta menampilkan ketakjuban; jelas baru pertama kali menghadapi robot berwujud kucing hutan yang bisa berbicara seperti Garda. Pemudatersebutsudah menduga hal ini sebelumnya, bisa Garda pastikan, tetapi tetap saja kaget sewaktu berhadapan langsung dengan sebentuk robot kucing seperti sekarang.

"Tolong aku," manusia itu mengulang lagi, seolah Garda belum cukup mendengar dua frasa serupa sebelumnya. Ekspresi pada wajah si pemuda tampak ingin menyembunyikan sisa keraguan. Garda pun menebak bahwa pemuda itu belum tahu banyak tentangnya, hanya memanfaatkan secuil informasi dari sumber-sumber tak kredibel.

Garda menyipitkan mata dalam isyarat jengkel. "Pertama-tama, Manusia, di mana sopan santunmu? Kamu ini siapa dan mengapa—"

"N-namaku KartarajaPrabangkara, panggilanku Kat. Seseorang bilang kamu bisa bantu mencari adikku...." potong pemuda tersebut.

Sambil memutar bola matanya yang mengkilap seperti kelereng, Garda mendengkus. Ingin dia melontarkan suatu kalimat, selaku ekspresi andalannya untuk satu pertanyaan yang kerap membuat dia bosan: di mana sopan santun anak muda jaman sekarang?!

"Oke, Kat. Senang bertemu denganmu. Terima kasih sudah membangunkanku dari tidur panjang yang nyenyak tiada tara," ucap Garda sinis.

"Sama-sama," balasKat. Raut mukanya menyajikan kepolosan murni tanpa kepura-puraan. Manusia satu ini sungguh tidak mengerti sinisme, keluh Garda dalam benak. Menghadapi jenis orang seperti itu, Garda putuskan untuk tidak berbasa-basi.

"Ada kabar buruk dan baik untukmu. Kabar buruknya, Manusia, aku tidak bisa membantumu. Aku bahkan tidak mengerti mengapa kamu meminta pertolonganku? Kabar baiknya, kamu bisa segera kabur dari sini dengan kulit mulus dan utuh tanpa cakaran dariku," ucap Garda.

"Kamu mengusirku?" sengat Kat, lebih merasa kebingungan daripada tersinggung. "Tapi aku yang telah membebaskanmu dari dalam peti!"

Garda menggerutu. "Justru itu, harusnya kamu tidak mengeluarkanku, Bodoh. Aku harusnya masih menetap di dalam sini sedikit lebih lama."

"Mengapa?" tanya Kat.

"Ini masih bulan April, kamu seharusnya membangunkanku setelah bulan Desember. Itupun kalau kamu masih hidup, yang hampir seratus persen kuragukan," racau Garda dengan lagak enteng.

Palagan Nusantara (Novel - Tamat)Where stories live. Discover now