04.

1.9K 137 0
                                    

Sudah satu minggu setelah Nita memberitahu alasannya tidak menerima Sigit pada sang kakak. Sudah satu minggu juga Sigit tidak menganggu Nita. Dari dulu, keadaan seperti inilah yang Nita inginkan. Sigit tidak lagi mengganggunya.

Namun dalam hati Nita merasa ada yang hilang. Tidak ada lagi pemuda tampan yang selalu mengikutinya. Tidak ada lagi pemuda tampan idola siswi Amani yang mengejarnya.

Sejujurnya saat Rian memberikan wejangan untuknya, Nita ingin mencoba membuka hati untuk Sigit. Namun yang dia dapati sebelum itu justru Sigit yang telah berhenti. Berhenti untuk memperjuangkannya.

Nita masih ingat, alasan Sigit yang selama ini tidak ingin menyerah. Pemuda itu selalu berkata bahwa dia tidak akan menyerah sebelum Nita memberi alasan yang jelas untuk dia menyerah. Tapi, sebelum Nita memberikan alasannya, pemuda itu sudah menyerah.

"Nit ...."

Suara Osa terdengar oleh Nita yang sedang duduk di kursi panjang koridor. Nita menoleh ke arah Osa dan memberikan senyumnya sebagai sapaan.

"Kenapa?" tanya Osa yang melihat keanehan Nita satu minggu belakangan ini.

Nita hanya menggeleng dan Osa menghembuskan napas lelah. Dari awal dia bertanya selalu gelengan yang diberikan Nita.

"Gue nggak apa-apa," balas Nita.

Disertai jawaban seperti itu tentunya. Jawaban andalan para gadis jika tidak ingin masalahnya diketahui orang lain.

"Masalah Sigit?" tanya Osa.

Nita tidak menjawab, hanya diam tak berkata.

Osa berdiri, tangannya dia lipat di depan dada. Pandangan Osa lurus ke arah depan, lapangan basket yang sedang digunakan oleh siswa Amani. Waktu istirahat di Amani hanya tiga puluh menit. Namun karena ada rapat mendadak setelah istirahat hari ini, seluruh kelas tidak ada guru yang mengajar.

"Lo menyesal?" tanya Osa lagi. "Menyesal karena sudah menyia-nyiakan Sigit?" tambahnya. Nita masih diam.

"Lo ... anggap gue sahabat lo kan, Nit?" tanya Osa gemas. Sedari tadi dia bertanya tidak ada jawaban, membuatnya geram.

"Iyalah ... lo sahabat gue, Sa," jawab Nita akhirnya.

Osa membalikkan tubuhnya berganti menghadap Nita. "Kalau gitu, cerita sama gue. Apa yang membuat lo enggan untuk menerima Sigit? Dan apa yang membuat lo uring-uringan belakangan ini?" tuturnya langsung.

Nita mendengar nada gemas dalam ucapan Osa. Dia tahu, selama ini dia salah tidak memberitahu Osa semuanya. Mungkin sekarang memang saatnya dia menceritakan semuanya.

"Maafin gue ...," ujar Nita dengan kepala yang tertunduk. Osa yang melihat itu justru memutar bola mata. Bukan permintaan maaf yang dia ingin dengar dari mulut gadis di hadapannya.

"Gue akan ceritakan semuanya, tapi nggak disini," lanjut Nita. Osa masih diam menunggu keterusan ucapan Nita.

"Kita ke rooftop ...," ajaknya.

*

Dua mata dengan iris hitam yang tergambar sempurna memperhatikan pergerakan dua gadis yang berjarak lima meter di depannya. Meski kedua gadis itu sudah melangkah meninggalkan tempat semula, dia tetap memperhatikan keduanya sampai hilang di arah tangga.

"Yaelah ... kalau kangen yah disamperin dong. Jangan sok-sok ngejauh."

Perkataan seseorang yang sudah berdiri dibelakangnya membuat dia menoleh dan mendapati sosok sahabatnya.

"Ngapain lo disini?" tanyanya sambil melangkahkan kaki meninggalkan tempat semula dia berdiri.

"Nemuin lo, lah," balas sahabatnya itu.

Takut Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang