19. Dunia Sempit

4.6K 433 21
                                    

Langkah kakinya tumpang tindih, tak lagi bisa membedakan suara detak jantung yang menghentak dan seret langkah yang serampangan. Hanya ada satu hal dalam fikirannya saat ini. Dan segala hal buruk yang menelusup masuk membuatnya semakin frustasi.

Mereka berhenti di bagian informasi, Alan melihat bagaimana tenangnya Dino saat itu. Sembari menanyakan informasi tentang Divo, sebelah tangannya tetap mengelus bahu sang ibunda, sesekali mengucapkan kata-kata penenangan, sorot matanya lembut, menenangkan. Walau raut wajahnya menampilkan kekhawatiran yang tak kalah besarnya, dia masih melempar senyum tipis ke arah Rila saat wanita paruh baya itu menangis, memeluk lengannya.

Alan bergeming, tidak mengatakan apapun semenjak berada di mobil tadi. Kini saat dia menginjakkan kaki di rumah sakit tempat Divo di rawat, Alan baru sadar kalau dia gemetaran. Ketakutan. Alan menelusupkan kedua tangannya kedalam saku celana. Percuma, tidak membantu.

"Alan!" Panggilan Dino menyentak lamunan Alan, dia terkesiap dan menatap abangnya dengan pandangan tidak fokus, "Divo masih di UGD, ayo!" ajaknya, sembari memapah sang ibu yang panik bukan main.

Alan kembali mengekori Dino dan ibunya yang berjalan tergesa-gesa, bau steril obat-obatan tidak pernah menjadi favorit Alan. Menginjakkan kaki di rumah sakit, adalah satu dari sekian banyak hal yang tidak dia suka.

"Divo!"

Untuk kesekian kali, Alan tersentak. Pintu lebar itu terbuka, dan Rila buru-buru menghambur ke arah pemuda yang tengah duduk di atas ranjang, tangan dan kepalanya di perban. Saat melihat keberadaan Rila, Dino, dan Alan, laki-laki itu tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. Dia baru meringis saat Rila menerjangnya dengan pelukan ketat.

Mendengar erangan kesakitan Divo, sang ibu melepaskan belitannya, "Kakak..." ujarnya cemas.

"Mama jangan nangis dong, Divo ga papa!" ujar Divo menenangkan, dia menatap Dino yang balik menatapnya dengan datar, diam-diam menghela nafas lega.

"Mama pikir kamu luka parah, kamu bikin Mama cemas aja Div ... jangan ngebut-ngebut lagi, sayang. Mama bisa mati muda gara-gara kamu."

Divo terkekeh lagi, meringis saat merasakan nyeri pada leher, "cuman luka kecil kok, Ma. Lagian Divo ga ngebut kok, cuman--" Perkataan Divo terhenti tatkala dia melihat Alan yang mematung di depan pintu, wajah adiknya itu pucat seperti kapas.

"Alan?" ujarnya, Dino ikut menoleh dan terdiam melihat raut adiknya, "Alan, lo gapapa dek?"

Alan tidak menjawab, tanpa mengatakan apapun, dia berbalik dan keluar dari ruangan itu. Tidak menghiraukan panggilan Divo dan Mamanya, dia tetap melangkah menjauh.

Dia pikir, Divo terluka parah. Dia pikir, dia tidak akan pernah lagi melihat wajah Divo. Dia pikir, selain kehilangan ayah, dia juga harus kehilangan sosok kakak.

Saat melihat Divo baik-baik saja, hanya mengalami luka kecil, kelegaan yang dirasakan oleh Alan membuatnya tidak bisa berkata apa-apa. Tadi itu begitu menakutkan untuknya.

Merasa sudah berada jauh dari ruangan Divo, Alan pun berhenti. Dia menyandarkan tubuhnya di dinding, lalu menghela nafas panjang, menetralkan detak jantungnya yang tidak beraturan.

Gila! Pikirnya letih. Menghela nafas lagi, Alan pun mendekat ke arah deretan kursi tunggu di sebelah kiri, jantungnya masih berdegup dengan cepat. Langkah Alan terhenti ketika melihat seseorang yang dikenalnya tengah duduk di salah satu kursi tunggu, terpekur, keningnya berkerut seperti sedang berfikir keras.

Alan mendekat, menghempaskan dirinya begitu saja, sehingga cewek di sampingnya berjengit kaget.

"Alan?" ujarnya seperti kaget.

TBS [1] Alan & AlanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang