BUKAN PEMERAN UTAMA

7.5K 514 48
                                    


'Jika engkau bertanya: siapakah aku? Kujawab singkat, tetapi kuharap engkau tidak kecewa; harapan.' – Putu Oka Sukanta, Masa Lalu



***


KALIAN tahu bagaimana rasanya dipermainkan takdir?

Kurasa tidak, atau mungkin saja iya. Entahlah. Situasi yang kualami ini bisa jadi juga pernah melibatkan kalian di dalamnya—sebagai tokoh utama, atau sebaliknya, sesosok tokoh yang awalnya berpikir dialah sang tokoh sentral, tak tahunya semakin mendekati akhir, penulis selaku Tuhan dari tokoh-tokoh tersebut, malah menghempaskannya. Secara paksa menyadarkan si tokoh ini untuk mengetahui bahwa dirinya tidak lebih dari seseorang yang berada di luar lingkaran. Hanya mampu mengamati dari jauh, sedikit pun tak sanggup menggapai.

Sekarang, bagaimana? Kalian pernah mengalaminya?

Oke, baiklah. Tidak perlu dijawab kalau memang keadaan tersebut tidak perlu diketahui banyak pihak. Simpan saja. Sementara itu, izinkan aku membagi kisah ini.

Perkenalkan, namaku Dama—Damaryan Ahmad. Mahasiswa semester akhir Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu universitas negeri di ibukota. Jika kalian pikir latar belakangku sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi memudahkanku menjalin hubungan sosial, kalian salah besar.

Begini, biar kujelaskan.

Saat di bangku Sekolah Menengah Atas, aku mendapatkan sebuah keberuntungan. Namaku turut disertakan dalam daftar nama siswa-siswi berprestasi yang diizinkan mengikuti jalur prestasi di dua universitas terkemuka—baik di kota ini, maupun di luar. Lagi, berselang beberapa bulan setelahnya, kembali keberuntungan menyertaiku. Sayangnya, tidak sepenuhnya dapat dikatakan beruntung. Karena aku yang tadinya ingin melanjutkan di Fakultas Ilmu Budaya, tidak tahunya malah dilempar ke pilihan kedua; Ilmu Komunikasi. Namun, di balik itu semua. Setidaknya ada seseorang yang tersenyum teramat bangga. Bunda.

Wajar saja, mengingat beliau selalu menginginkanku untuk lebih bisa mengutarakan isi hati dengan kata-kata secara lisan, bukannya tertulis. Yang belakangan—setidaknya, sampai usiaku saat ini, aku lebih memilih mengutarakan isi hati melalui tarian huruf di atas kertas.

Sudah, sudah, lupakan Bunda. Fokus saja pada kisahku sebagai si dia yang bukan pemeran utama.

Kalian siap? Baiklah, kali ini aku benar-benar akan memulainya. Duduk manis, ambil camilan, dan tetaplah berada dalam gesture santai. Karena bisa jadi, kisah ini akan membuatmu merasa sedikit... bosan.


***


KEPALAKU menengadah. Menatap serbuan air dari langit yang menghujam tanpa ampun tepat setelah kuambil satu langkah meninggalkan koridor kampus. Sigap, kuposisikan tas ransel hitamku di atas kepala, lantas setengah berlari menyeberangi jalan yang sepenuhnya kosong. Tentu saja, semua mahasiswa dan mahasiswi lebih memilih bertahan di gedung perkuliahan, bukannya nekat sepertiku.

Helaan napas berkali-kali lolos, disusul umpatan kesal, setiap kali kakiku tidak bisa menghindari genangan. Berengsek, sepatuku jadi basah karenanya! Ya, ya, Bunda memang tidak akan marah mendapati sepasang sepatu yang baru saja disikatnya kemarin siang, hari ini berhasil menimbulkan bercak-bercak kecokelatan di kiri kanan. Tetapi, tetap saja aku merasa tidak enak hati.

Sesampainya di selasar kafetaria, kutarik napas lebih dalam. Hingga nyaris membuatku tersedak. Sial! Mengedarkan pandangan, kuacak rambutku yang belum dipangkas. Bagian belakangnya sukses menutupi kerah kemeja flanelku, sementara bagian depan menjuntai di dahi. Ah, ingatkan aku untuk mengunjungi barbershop malam ini, atau besok sekalian. Mengingat aku baru ada kuliah pukul satu siang.

LETHOLOGICATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang