CHAPTER 3

146 11 1
                                    

Paman Brandon masuk ke kamar setelah selesai menggosok giginya.

“Anak pungut itu masih belum juga pulang larut malam begini. Aku sudah mengunci pintunya, dengan begitu ia takkan bisa masuk.”

“Baguslah!” kata Bibi Martha sambil masih membaca buku di ranjangnya, “Biarkan saja anak itu tidur di luar. Dasar tak tahu balas budi. Sudah untung kita mau memberinya makan setiap hari.”

“Aku masih tak habis pikir,” kata Paman Brandon sambil naik ke tempat tidur, “Kenapa kakakku mau saja mengadopsi anak itu? Apa mungkin dia anaknya di luar nikah ya? Benar2 menghabiskan uang saja.”

“Tapi kita beruntung kakakmu mati dan mewariskan seluruh harta dan rumah ini kepada kita.” kata Bibi Martha sambil menutup bukunya, menaruh kaca matanya, dan bersiap tidur.

“Yah, sayang sekali harta warisan itu datang bersama kewajiban kita untuk mengurus anak itu hingga umur 18.”

“Berhentilah menggerutu. Tinggal satu tahun lagi, Sayang. Setelah itu kita usir anak itu dari rumah ini.”

“Kau benar, Sayang. Nah sekarang tidurlah. Aku sudah tak sabar mau memarahi anak itu besok pagi.”

Mereka berdua mematikan lampu kamar dan mulai berbaring dalam kegelapan. Tiba-tiba saja mereka mendengar suara.

“Brandon, dengar!” seru Bibi Martha, “Ada suara dari arah bawah!”

“Ah, sial! Itu pasti Liu mencoba mendobrak masuk!” Paman Brandon dengan kesal membuka selimutnya dan bangkit dari tempat tidur.

“Hati-hati, Brandon!”

“Tenanglah! Akan kuhajar habis2an anak itu kali ini.”

Paman Brandon keluar kamar dan dari kamar tidur, Bibi Martha dapat mendengar langkah kakinya menuruni tangga.

Bibi Martha kembali mencoba tidur. Ia tak mendengar suara apapun dari bawah, bahkan suara suaminya memukuli Liu. Ah, mungkin saja suara tadi hanyalah suara kucing atau angin dari luar.

Dengan mata terpejam, Bibi Martha bisa mendengar suara langkah kaki menaiki tangga. Itu pasti Brandon, pikir Bibi Martha.

Bibi Martha kemudian mendengar suara langkah kaki memasuki kamarnya. Paman Brandon tadi membiarkan pintu kamarnya terbuka.

“Apa kau sudah memukulinya, Sayang? Kok aku tidak mendengar suaranya?”

Anehnya, suara langkah kaki itu tidak terhenti di tepi ranjang, namun justru memutar, ke arah sisi ranjang yang Bibi Martha tiduri.

Bibi Martha pun membuka matanya dan menjerit melihat apa yang terhidang di depan matanya.

“AAAAAAAAAAAAAAAA!!!!”

Di depannya, sesosok wajah putih menatapnya. Dan senyum itu ... senyum legendaris itu yang konon tak ada seorangpun dapat hidup untuk menceritakannya, kecuali Liu.

Senyum Jeff The Killer.

Bibi Martha tak sempat berteriak ketika pembunuh itu mengiriskan pisaunya yang tajam ke lehernya. Wanita itu tersedak oleh darahnya sendiri yang segera mengalir deras melalui sayatan itu dan dari mulutnya.

Darah merah segera merembes di seprai, membasahi seluruh ranjang.

***

“Jadi kau tidak akan pulang malam ini?” tanya Kevin pada kakaknya, Keith, di telepon.

“Kurasa tidak, Dik.” ujar Keith di seberang telepon, “Polisi berhasil menangkap pelakunya. Benar, Jeff The Killer memang sudah mati. Ternyata Liu yang berada di balik semua ini. Polisi menangkap basah dia sedang membunuh sahabatnya sendiri, Adam.”

JEFF THE KILLER - OUTRAGEWhere stories live. Discover now