Rahagi yang sudah mendapatkan apa yang ia cari, lantas membalikkan badan. Di ambang pintu dapur, Inara tengah berdiri dengan tangan menutupi mata. "Baju gue di lantai dua, ja–" ucapannya terputus. Senyum geli terukir di wajahnya. "Berarti menurut lo badan gue bagus?"

"Pede banget!" Inara meletakkan gelasnya di meja dapur, kemudian membalikkan badan dan berlari menuju kamar.

Malu.

Rahagi yang melihat itu tertawa kecil. Adik tirinya itu sangatlah lucu.

# # #

Inara menatap tajam orang-orang yang membicarakannya. Hal ini sudah berlangsung sejak tiga hari yang lalu. Saat pertama kalinya ia datang ke sekolah di boncengan Rahagi.

"Rahagi calon ketua Blackpole itu? Tuh cewek udah ngerasa cantik kali ya sampe-sampe ngedeketin Rahagi."

"Kok kalian mau sih sama Rahagi? Dia nakal gitu. Nggak cocok jadi The Most Wanted, modal tampang doang."

Kayak Rahagi mau aja sama lo, batin Inara.

"Mereka sodara tiri, Bego."

"Hah? Sodara tiri?"

"Lo kemane aje."

"Kalo gitu gue masih ada kesempatan dong, ya."

"Kalo dia nggak badboy, gue mau."

Inara hanya menggelengkan kepala mendengar percakapan mereka. Perempuan itu bergegas menuju parkiran. Hari ini ia akan mengikuti pertemuan Blackpole yang dilaksanakan di rumah Radit, si ketua Blackpole. Ia akan pergi bersama Rahagi–dengan sangat terpaksa.

Sejak resmi menjadi saudara, Tyas mempercayakan Inara sepenuhnya kepada Rahagi. Selain karena mereka satu sekolah–dan satu angkatan, Tyas juga tidak bisa menjemput Inara terus-terusan. Begitu juga dengan Gafar, Naya, dan Bayu yang sibuk dengan kuliahnya.

"Lama banget!" gerutu Rahagi yang ternyata sudah menunggunya di parkiran, lengkap dengan hoodie biru tuanya.

"Sabar napa. Jam bubaran sekolah baru lima menit yang lalu."

Rahagi menatapnya datar seraya memberikan helm berwarna hitam. Inara mengambilnya. Seraya mengucapkan terima kasih, gadis itu memakai helm tersebut. Inara mengambil ancang-ancang untuk menaiki ninja itu.

"Ini gimana cara naiknya?" tanya Inara. Gadis itu memperhatikan rok selututnya.

"Tinggal naik aja. Duduk nyamping," kata Rahagi.

Inara memegang pundak Rahagi, kemudian duduk di boncengan.

"Udah?" tanya Rahagi.

Gadis itu mengangguk kemudian meletakkan tasnya di pangkuan. "Udah. Tapi, pegel juga ya."

Rahagi menaikkan bahunya, kemudian melajukan motornya meninggalkan sekolah.

Rumah Radit tidak terlalu jauh dari SMA Integral. Dalam waktu dua puluh menit, mereka sudah sampai di rumah Radit.

Rahagi memarkirkan motornya di pekarangan rumah Radit. Setelah mesin motornya mati, Inara turun dari motor itu. Pinggangnya terasa linu karena posisi duduknya yang tidak pas–duduk menyamping di motor ninja. Gadis itu melepaskan helmnya, lalu memberikannya kepada Rahagi.

"Inara! Kemana aja lo baru kelihatan," sapa seseorang. Inara berbalik. Dimas rupanya.

Inara hanya tersenyum simpul. Rahagi melepas helmnya, kemudian bersalaman dengan Dimas.

"Gila, semakin-semakin aja lo, Bro. Bareng Inara segala."

"Emang elu. Stuck di situ-situ mulu. Nggak ada perkembangan." Rahagi dan Dimas masuk ke rumah Radit. Meninggalkan Inara yang berjalan sendirian di belakang mereka.

"Ya si tai!" Dimas memukul pundak Rahagi. "Weh, udah rame aje." Dimas menyalami anggota Blackpole yang lain satu per satu. Begitu juga dengan Rahagi. Sementara Inara berdiri di balik tubuh Rahagi.

"Pacar lo, Gi?" tanya salah seorangnya.

"Lo sih jarang dateng pertemuan, Nan. Anggota baru tuh," seru Adit.

Lelaki itu menatap Inara. "Hai! Gue Keenan."

"Inara, Bang." gadis itu tersenyum.

"Nggak usah panggil 'Bang'."

"Gue usahain." Inara tersenyum simpul.

"Hari ini kita bahas apa, Dit?" tanya Adit.

"Pelantikan. Pembagian kelompok dan keperluan lain. Itu aja sih," jawab Radit. Lelaki itu membuka catatan-catatan yang harus disampaikan kepada anggota.

"Kayaknya lo butuh sekretaris, Dit," timpal Karel.

"Boleh juga tuh!" kata Dimas bersemangat.

"Inara!" tunjuk Farel.

"Calon ketua DisPara, Bro. Terlalu riskan," ucap Adit.

"Wih. DisPara kan bidang yang berselisih banget sama Blackpole. Kok bisa... tertarik buat masuk?" tanya Putra dengan tatapan menyelidik. "Dulu pas zaman gue jadi ketua, DisPara memusuhi banget."

"Doi adeknya Gafar," ucap Bayu seraya melayangkan senyum misterius kepada Putra.

"Gafar Adipati?" Putra melirik Inara. "Kok bisa?"

"Nah loh," ucap Dimas. "Ya bisa lah. Pabriknya produksi begitu."

Inara mengerutkan keningnya–tidak mengerti dengan percakapan mereka. Tak menyadari bahwa Putra tengah memperhatikannya.

"Langsung mulai aja, Dit," ucap Rahagi pada Radit.

Lelaki itu mengangguk. "Perhatian! Gue bakal bacain kelompok pas pelantikan anggota."

"Kelompok 1 ...."

Inara mendengarkan dengan seksama. Ia tidak tahu akan diletakkan di kelompok berapa. Namun, nyatanya namanya tidak disebutkan di kelompok mana pun.

"Karena Inara cewek, jadi sejujurnya gue nggak tahu dia mau dimasukin ke kelompok mana. Tapi, berhubung yang bawa Inara ke sini adalah Rahagi, jadi Inara gue jadiin sekelompok sama Ragi. Inara, lo kelompok 5."

"Asik, berarti gue sekelompok dong, sama Inara," ucap Dimas.

"Gue juga mau dong," kata Keenan.

"Inara udah gue kunci," ujar Dimas.

"Selagi kata sah belum terucap, gue masih ada kesempatan."

Dimas terkekeh. "Ye si cumi. Sekolah dulu yang bener. Pake sok-sokan bahas 'sah."

"Sewot aje lu."

"Pelantikan akan dilaksanakan dua minggu lagi. Tempatnya udah fix di puncak."

Tidak ada anggota yang protes perihal waktu dan tempat. Kini, hanya satu perkara yang ada di pikiran Inara. Apa alasan yang akan diberinya pada Tyas agar mengizinkannya pergi?

~~||~~

A/N

Kira-kira, ini ending ceritanya kayak gimana ya? (Plis deh Nu, baru chapter 11 aja udah nanyain ending).

But honestly, gue mau tau bayangan kalian tentang cerita ini ke depannya^^

20 Agustus 2016.


Antipoleحيث تعيش القصص. اكتشف الآن