satu

49K 3.5K 100
                                    

Lapangan parkir Fakultas Teologi Koum Christian University dipenuhi kendaraan mahasiswa. Freya memilih untuk memarkir mobilnya di depan gedung rektorat meskipun itu artinya ia harus berjalan cukup jauh.

Freya mematikan mesin mobil, kemudian mengecek penampilannya di cermin.

Di telepon tadi pagi, pacarnya bilang ia cantik. Tapi itu mungkin karena pemuda itu hanya sedang melakukan tanggung jawabnya sebagai pacar. Tidak mungkin ia berkata, ada orang yang jelek karena dia belum pubertas, tapi kamu jelek karena fitur wajah kamu mengerikan dan aneh. Hal itu tinggal di dalam genmu; kamu tidak bisa menghindarinya. Memperbaikinya adalah perbuatan paling sia-sia, seperti yang dikatakan seorang temannya dulu.

Dan mungkin juga karena pemuda itu belum pernah melihat tanda lahir yang sangat besar di perutnya.

Saat bercermin itu, ia menangkap sesuatu menggantung di lehernya.

Sebuah pemberian dari orang tuanya untuk merayakan hari pertamanya memasuki universitas. Sebuah kalung dengan batu yang sangat cantik. Batu liontin itu mungil, berbentuk hati. Warnanya amber dengan gurat-gurat kecokelatan yang menyerupai larutan kopi yang belum tuntas tercampur. Keindahannya bertambah karena ia akan menampilkan warna yang sangat indah saat sinar matahari menyerangnya dari sudut tertentu.

Ia cantik.

Freya turun dari mobil sedannya. Angin segar menyambutnya saat ia melangkah menyusuri jalanan menuju area fakultasnya. Hari masih pagi, dan dia begitu senang dia bisa merasakan kabut di jalan tadi.

"Freya?"

Panggilan itu membuat Freya menoleh. Di kantin Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Freya melihat seseorang yang sudah dikenalnya sejak dulu.

"Freya!"

Dengan berlari kecil, Freya menghampirinya. Gadis itu tidak menduga akan bertemu seseorang yang dikenalnya di sana. Bukan teman, hanya seseorang yang dikenal. Salbatier tidak pernah memiliki teman.

"Nigel, apa kabar? Lo sangat cantik." Dipeluknya teman semasa SMA-nya yang kini sudah menjadi mahasiswa semester lima. 

"Ah, terima kasih. Sudah lama sekali, ya." Gigi-gigi putih Nigel menambah keindahan senyumnya yang amat manis. Kulit gadis itu putih tak bercacat, dan ia berkilau. Rambutnya yang tebal diurai begitu saja di belakang blazer hitam yang gadis tinggi semampai itu kenakan. "Gue baik, lo apa kabar? Lo tidak berubah jauh. Mudah untuk mengenali lo sejak terakhir kali gue melihat lo."

"Semua baik, puji Tuhan."

"Jurusan apa?"

"Teologia. Lo?"

"Bisnis." Senyum Nigel menjadi sebuah yang penuh nostalgia. "Sejak dulu, gue selalu berpikir apa yang terjadi dengan lo, ternyata pada teologia lo berakhir. Tahun pertama?"

"Ya." Freya ingin menjelaskan bahwa dia menghabiskan dua tahun bergumul soal ke mana ia harus pergi setelah lulus sekolah, tapi sesuatu di dalamnya merasa hal itu aneh dan tidak berguna.

"Ini Ashlj," kata Nigel memperkenalkan seorang gadis di sampingnya. "Ash, ini Freya, teman gue di SMA dulu, anak Teo. Seumuran dengan kita, tapi dia gap year selama dua tahun. Freya, Ashlj ini teman gue yang sejak kecil dulu sudah sangat membosankan, Sastra Indonesia."

Ashlj mengenakan sweter dan celana jins tanggung. Sama seperti Freya yang mengenakan kemeja lengan panjang dan celana jins, ia tidak begitu memperhatikan penampilannya.

Keduanya berkenalan. Freya tidak tahu apa yang teman barunya lihat pada dirinya, tapi ia menyadari bagaimana Ashlj lebih tertarik dengan kalungnya--gadis itu tersihir. Ia tidak menyalahkan gadis itu. 

"Bagaimana kalau kami antar lo ke gedung fakultas lo?" tanya Nigel tanpa bertanya apa-apa kepada teman yang bersamanya ia datang ke kampus.

"Tidak perlu," tolak Freya segera. "Gue sudah tahu di mana tempatnya."

Nigel tertawa. "Bukan itu tujuannya, Cantik. Lo belum berubah, ya."

Freya semakin ingin menolaknya. Ia dengan gelisah memikirkan bagaimana untuk secara cepat dan diplomatis melipir dari ajakan itu.

"Tapi sebelumnya,..." Senyum Nigel merekah semakin lebar. "Itu adalah Nataniel Jordan."

Saat itu, sebuah mobil berwarna hitam yang sangat gelap memasuki gerbang kampus. Mobil yang menyita perhatian sedikit terlalu banyak orang itu membelah jajaran mobil-mobil lain, kemudian bergerak lebih pelan saat mendapatkan sebuah tempat parkir kosong. Tidak lama kemudian, seorang pemuda keluar dari dalam sana. Ia tinggi, lebih tinggi dari pria seumurannya. Tubuhnya tegap di dalam jaket biru dongker yang melapisi kaus abu-abunya. Sebuah kaca mata membingkai wajahnya yang tegas dan membuat takut pagi hari yang ceria. Tangannya menggenggam sebuah tas, kunci mobil, dan ponsel. 

Desahan berat kembali menarik perhatian Freya dan Ashlj ke tengah-tengah mereka.

"Jurusan filsafat. Terkutuklah apa pun yang dia pelajari di dalam sana, karena gue rasa hal itu membuatnya tidak terjangkau. Atau mungkin dia gay?" Nigel terdiam sebentar. "Tidak, memang dia tidak terjangkau. Banyak hal yang membenarkan hal itu. Dia tampan, dia sangat kaya, dia anak dari Hana Sawitri Jordan, dosen Sastra Belanda, dan Isaiah Jordan. Ayahnya baru saja pensiun dari CDC bulan Juni kemarin--"

"Berarti dia bukan apa-apa," sela Freya tiba-tiba, membuyarkan monolog Nigel.

"Maksud lo?" tanya Nigel dan menoleh dengan begitu santai. 

"Lo melihat dia seperti itu, maka lo juga melihat diri lo demikian," kata Freya, tidak menjelaskan apa-apa, menurut Nigel. "Jika lo menempelkan begitu banyak atribut pada diri lo, lo apa? Tanpa keindahan fisik, status, dan jabatan lo, dengan apa lo akan menjelaskan diri lo? Karena akan ada saatnya itu semua diambil dari lo, dan saat itu terjadi, hanya lo yang berdiri di depan takhta Sang Anak, dan di saat itu terjadi, lo itu apa?"

Kini Nigel mengerti. Ia memiringkan kepalanya dan memamerkan sebuah cengiran. "Anak Teo," godanya.

Tetapi Ashlj tertegun.

OOO

17/01/22

She who Loves RegardlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang