Di sana, berdiri patung Bunda Maria. Di depan patung tersebut, lilin-lilin mungil menyala setelah diletakkan tidak teratur oleh siapa pun yang menyalakannya. Ia mengambil sebuah lilin, kemudian duduk di baris ketiga dari tiga baris bangku kayu panjang yang disediakan.

Freya memandang lilin-lilin itu dan memandang berkasnya.

Gadis itu berpuasa selama tujuh hari untuk saat ini.

Ini saatnya.

Freya menunduk, berdoa, membawa berkas di tangannya ke hadapan Tuhan.

Itu adalah tulisannya. Hasil ia merenung. Hasil ia telanjang dan terbuka kepada dunia di luar inkarnasinya. Itu hanya jajaran kata, tapi untuk kata itu berada di sana, dengan urutan seperti itu, memberi elaborasi pada subtansi itu, ia benar-benar harus melewati proses yang mematikan.

Tuhan memecutnya. Tuhan menghancurkannya. Tuhan menjadikannya tidak berarti dan mati. Ia membuat Freya Misty tidak ada, sehingga semua yang wanita itu tuliskan dan rasakan hanyalah tentang Pribadi-Nya.

Sehingga, berkas itu memusnahkan haknya untuk meninggikan diri.

Sehingga, berkas itu membawanya pada kematian naturnya.

Sehingga, berkas itu menjadi sangat mahal. Karena ia tidak datang dari sesuatu atau siapa pun di dunia yang ini. Freya melewati banyak hal untuk tulisan itu, ia hampir mati, dan ia, di depan patung seorang wanita yang juga kehilangan dirinya demi Tuhannya, hancur dalam tangis.

Ia bersyukur karena Tuhan memilihnya. Ia dipakai. Ia memang sakit karena semuanya, tapi, sial, ia dipakai. Dan ia rela menjadi sakit lagi, mati lagi, dan musnah lagi, jika ia terus menjadi terpisah dan dipakai.

Dan kini, melalui tangisan yang melambangkan ketidaklayakan, ucapan syukur, dan kerinduan terdalam, Freya membawa berkasnya. Agar berkas itu menjadi sebagaimana Ia mau. Agar Tuhan memakainya sesuai kehendak-Nya, dan agar Tuhan mempertimbangkan hasil pekerjaannya: berkas itu. Agar Tuhan senang.

Tulisannya, lambang komitmennya, kesetiannya, dan keintimannya dengan Tuhan dan dengan dirinya sendiri. Tulisan yang sering berbicara kepadanya, mengasihinya, menegurnya dengan lembut, dan mengoreksinya. Satu-satunya teman yang miliki. Satu-satunya yang menjaga kewarasannya selama dua tahun belakangan ia bergumul tentang eksistensinya. Proses yang panjang dan mengilhami.

Freya mengakhiri doanya.

Tinta-tinta berkasnya luntur karena air mata. Tapi ia masih mengingat semua kata yang hilang itu. Ia sudah sering membaca ulang isi dari berkas itu.

Freya mendekap berkasnya di dada kirinya yang, untuk pertama kalinya sejak dua tahun terakhir, begitu lega dan kosong. Ia menengadah, memejamkan matanya. Di dalam hatinya, ia berharap berkas itu memuliakan Tuhan. Ia bersyukur karena mereka, ia dan Tuhan, bersama-sama.

Gadis itu kemudian menyalakan lilin, meletakkannya di depan patung Bunda Maria, kemudian keluar dari sana.

OOO

Pemuda itu tidak juga mengangkat teleponnya. Tidak ada panggilan balik atau apa.

Freya memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia jatuh cinta hari itu. Tulisannya selesai. Dia tidak akan membiarkan apa pun merusak hari itu.

Hari sudah siang. Gadis itu memilih untuk berkunjung ke sebuah pusat perbelanjaan dan merayakan hari istimewa itu di sebuah restoran.

Di sana, ada sebuah restoran yang pernah ia dan keluarganya datangi bersama dengan keluarga seorang gubernur dari sebuah provinsi di Kanada. Restoran itu beralaskan karpet yang sangat lembut. Lampunya berkilauan, dipermuliakan dan mengejek. Juga terdapat pelapis tembok yang di sana pemiliknya meletakkan harga dirinya. Ada sebuah menu yang Freya kecil pilih dengan asal-asalan waktu dulu, tapi dia langsung pulih seluruhnya dari rasa kantuknya begitu ia memasukkan suapan pertama.

Freya ingin makan itu lagi, tapi sebagian dari dirinya tahu ia tidak bisa masuk ke sana sendiri. Ia akan diolok-olok oleh sedikit terlalu banyak benda mati, karena ia jelek, dan karena tanpa kedua orang tuanya, ia tidak memiliki identitas apa-apa.

Tapi toh ia masuk juga.

"Selamat siang. Reservasi atas nama siapa?" sambut seorang pelayan yang mengenakan setelan yang membuatnya terlihat seperti seorang eksekutif.

Freya merutuk, karena ia memilih impulsif menyangkut makanan, sehingga tidak ada reservasi apa pun. "Saya belum melakukan reservasi."

Ada impresi tidak mengenakkan saat pelayan itu memohonnya untuk pergi, seolah mengusir. "Mohon maaf, Anda seharusnya melakukan reservasi terlebih dahulu."

Freya mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana jinsnya. "Apa saya bisa mendapatkan meja dengan ini?"

Pelayan itu memandangi kartu itu dan gadis di depannya bergantian, nyaris selama sepuluh detik yang padat. "Apa Anda ingin saya mengosongkan dan menutup restoran ini juga untuk Anda sendiri?"

"Tidak, sebuah meja saja cukup."

"Baik. Mari ikut saya." Kemudian, tanpa alasan yang jelas, "Saya mohon maaf."

OOO

Panggilannya tidak juga terjawab.

Dan itu yang terakhir ia akan mencoba hari itu.

Freya mematikan ponselnya, memasukkannya ke dalam saku. Ia berjalan memasuki area bioskop yang penuh. Hari itu adalah hari Jumat terakhir libur tahun ajaran baru. Dua hari lagi, semua pelajar akan kembali ke rutinitas mereka masing-masing, dan Freya akan menyandang status baru sebagai seorang mahasiswi.

"Selamat sore, untuk film apa dan berapa tiket?"

Setelah beberapa puluh menit dan sebuah antrian yang mengular, Freya akhirnya mendapatkan giliran membeli tiket.

"Selamat sore. Dua tiket," katanya impulsif ketika sebuah ide hinggap untuk menciptakan kebahagiaan bagi orang lain, "untuk saya, dan orang di belakang saya." Kemudian ia memilih film untuk satu tiket untuknya.

Kasir tersebut mengernyit beberapa saat. Dia kemudian menuruti permintaan Freya. "Silakan, yang hijau belum terisi."

Freya memilih kursinya. Ia begitu berbahagia hari itu. Dan ia harap orang di belakangnya juga merasakan yang sama. Ia akan mengingat hari itu dan semua yang ia lakukan. Begitu berkesan dan berbeda. Ia harus sering-sering melakukannya.

Setelah mendapatkan tiketnya, Freya meninggalkan tempat itu sambil berlari. Dia sudah terlambat sepuluh menit.

Saat itulah aroma parfumnya tertinggal.

OOO

23/12/21

She who Loves RegardlessWhere stories live. Discover now