prolog

78.5K 4K 73
                                    

Sudah selesai.

Tulisan itu sudah selesai ditulis.

Freya Misty membuang nafasnya yang sedari tadi ternyata ditahannya.

Tulisan itu tidak diterbitkan. Ia tidak dibaca banyak orang. Ia hanya selesai.

Gadis dua puluh tahun itu menyandarkan punggungnya dan menghela nafas pelan-pelan sambil menatap tulisannya tanpa berkedip. Helaan nafasnya kemudian menjadi berat dan ada air mata yang muncul di sudut matanya.

Freya memejamkan matanya, membiarkan air mata itu turun, kemudian pergi tidur.

OOO

"Di mana Freya?" tanya Kevintra Salbatier kepada istrinya yang duduk di sampingnya saat jam sarapan.

"Masih di kamarnya," jawab Zephaniah. Ia mengisi piring suaminya dengan makanan dan meletakkannya di depannya dengan rapi.

Kevintra mengangguk paham. "Oke."

"Kita duluan saja. Sepertinya dia sulit tidur semalaman." Zephaniah tersenyum kecil. "Aku merasakan semalam. Dia sedang jatuh cinta. Cinta yang seperti itu berbahaya, bisa membuatnya gila."

Saat itu juga, pintu jati berwarna putih itu terbuka, menampakkan Freya dalam balutan kemeja berkerah dan celana jins, dengan rambut yang diikat satu. Ia mendekap sebuah berkas.

Diiringi tatapan kedua orang tuanya, Freya mendekati meja makan. Ia tidak menyentuh susunya. "Pa, Ma, aku akan seharian di luar rumah. Aku akan bawa mobil sendiri. Jangan khawatir, aku sudah mengeceknya kemarin, dan mungkin aku dikerjai karena aku membayar sangat mahal. Tapi semuanya baik. Aku akan tiba sebelum malam. Apa aku sudah membuat diriku jelas?"

Kevintra menaikkan sebelah alisnya kepada putrinya. "Dan ke mana kamu akan pergi dengan pakaian itu? Apa kamu baru saja melamar pekerjaan?" tanyanya.

"Ke sebuah tempat." jawabnya.

"Kamu sedang jatuh cinta, Freya?" selidik Zephaniah tiba-tiba kepada putrinya.

Freya menggigit bibirnya, berusaha menahan sebuah senyum yang nyaris terulas. "Aku pergi."

OOO

Dia belum berhasil menghubungi pacarnya sejak semalam. Ia mencoba lagi tadi, dan gagal.

Tapi tulisan itu sudah selesai, dan Freya merasa ia harus merayakannya.

Jadi di sanalah ia. Di parkiran sebuah gereja katedral.

Gadis itu melupakan ponselnya, meninggalkannya di dalam mobil, dan masuk ke dalam gereja itu hanya dengan berkasnya.

Kakinya berjalan menyusuri sisi gedung. Sebelum memasuki gedung, ia melihat sebuah banner yang berdiri di samping pintu. Aturan pakaian, tidak boleh di atas lutut, harus berkerah, tidak boleh berbelahan rendah, tidak boleh sendal.

Ia bersiap cukup panjang untuk hari itu. Tadinya ia bahkan ingin mengenakan baju terusan yang sudah ia pesan sejak jauh hari khusus untuk hari itu, sangat cantik dan surgawi, tetapi dia ingat dia tidak cantik sehingga hal itu akan menjadi lelucon.

Berbelok ke dalam, gereja itu gelap dan kosong. Tidak ada orang. Angin berembus dingin. Ada patung-patung di bagian belakang. Suasana menjadi mencekam, dan Freya sedikit gentar. Tetapi ia terus melangkah ke belakang, membelah jajaran kursi yang ditata rapi.

Di setiap langkahnya, ia menahan air mata. Ia menggenggam berkasnya, meremasnya sedikit, kemudian remasan itu mengerat. Air matanya semakin merebak. Freya menggigit bibirnya, dan membuang nafas saat ia akhirnya tiba di bagian belakang gereja.

She who Loves RegardlessWhere stories live. Discover now