Satu : Studio the L Magazine

Start from the beginning
                                    

Mereka melupakan Victoria dan melanjutkan menikmati pesta. Olivia mendapatkan makna pesta ulang tahun sedangkan Victoria tidak. Gadis malang itu malah menyadari jika kehadirannya tidaklah penting. Semua orang berbahagia kecuali dirinya.

***

Givanno tak bisa tidur sejak insiden kekerasan yang dilakukan pada gadis kecilnya kemarin malam. Bahkan Taylor tak mengetahui hal itu sama sekali. Karena jika Taylor tahu, maka perceraian adalah cara untuk menebus kesalahannya itu. Dengan tangan yang bergetar, Givanno membuka pintu kamar Anaknya. Dia adalah orang pertama yang ingin menemui gadis kecilnya.

Saat pintu terbuka lebar, kamar putrinya masih tampak rapi. Seprei pink dengan gambar Tinkerbelle itu menyilaukan matanya. Di sana, tidak ada orang.

Givanno tak percaya. Dia tak menemukan Victoria di atas ranjang. Kekhawatiran mulai melanda lelaki itu. Seketika matanya tertuju ke kamar mandi. "Victoria! Kamu di mana, Nak?"

Givanno mengetuk pintu kamar mandi, namun tak ada pergerakan. Dua kali, tiga kali, sampai sepuluh kali lelaki itu memanggil putrinya namun tak ada jawaban. Givanno tak punya pilihan selain mendobrak pintu itu, alhasil sekarang ia melihat Victoria yang menangis sambil menutup mulutnya. Victoria ketakutan.

"Kenapa, Nak? Ada apa?"

"Tidak, Jangan mendekatiku!" teriak Victoria disertai dengan gelengan kepala. Bukan jawaban yang diberikan melainkan teriakan histeris. Dia mengusir Ayahnya dengan melempar apa pun yang ada di dekatnya mulai dari sabun, sikat, dan sampai tak ada lagi yang bisa dijangkaunya.

Tetapi sang Ayah tak menyerah sama sekali. Lelaki itu tetap mendekatinya--menyalurkan rasa sayang yang sudah tak diinginkan Victoria. "Maafkan Dad, Victoria!" Givanno memelas. Dia tahu jika dirinya memang salah. Anak sekecil Victoria tak pantas diperlakukan dengan kekerasan.

Victoria menggeleng lalu berlari keluar kamar mandi--menerobos Ayahnya yang mendekatinya. Semalam Ayahnya berhasil membuatnya tertekan, Victoria tak akan lupa kejadian itu. Saat di mana seorang Ayah tak lagi menyayanginya. Gadis kecil itu naik di atas kasur dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Givanno mendekatinya dan memeluknya. "Maafkan Dad, Nak!" Giivanno mengelus rambut putrinya. Hanya kata maaf yang bisa keluar dari mulutnya.

Victoria meronta, meminta untuk dilepaskan tapi Givanno tak peduli. Bagaimana pun juga Victoria merupakan Anaknya. Dia berhak menyayangi gadis itu, memeluk gadis itu sesuka hatinya. Givanno tak peduli dengan pukulan yang dilayangkan Victoria padanya. Anak itu berhak marah padanya.

Tiba-tiba suara wanita terdengar di telinga Givanno. "Tuan, ini sarapan untuk Victoria!" seru Rose, pembantu di rumah Givanno. Wanita tua itu meletakkan sepiring macaroni dan segelas susu putih di atas nakas.

Victoria menggigit tangan Ayahnya hingga pelukan yang menyatukan mereka terlepas. Victoria berlari menuju Rose dan memeluk wanita itu. "Selamatkan aku, Rose."

Givanno sekarang menyadari kesalahannya semalam. Kini putri bungsunya membencinya.
"Beri dia sarapan dan Biarkan dia tidur, Rose. Jangan lupa telepon gurunya. Katakan Victoria sakit. Aku akan ke studio." Givanno sedih. Pria itu berjalan melewati putri dan pembantunya. Gadis kecilnya telah memberikan jarak yang jauh. Sekarang bukan waktu yang tepat bertemu putri kecilnya itu. Perlu waktu yang lama menanamkan kasih sayang pada gadis itu. Pada akhirnya sesuatu yang buruk akan berakhir dengan buruk juga.

Di ruang makan sudah ada istri dan ketiga anaknya. Givanno tidak bisa menyembunyikan jika sesuatu yang buruk sedang terjadi pada Victoria. Kini sang istri menatapnya dengan begitu intens. Ada pertanyaan besar dibalik mata hazel itu. "Mana, Victoria? Apa dia tidak ikut sarapan bersama kita?" Taylor selalu memberikan perhatian lebih pada Anak tirinya. Dia sadar jika kelahiran Victoria bukanlah sebuah kesalahan.

Papa Mengapa Aku Lahir ?Where stories live. Discover now