Disappear

2K 90 17
                                    

Aku tidak pernah lagi mendengar suara tuts piano semenjak Rian bilang gadis bersurai brown itu telah meninggal. Gadis itu sering memainkan piano jenis up-right di tepi jalan. Jarinya lentik dengan kuku putih bersih. Ia sering mengenakan dress hitam selutut dengan rambut dikucir kuda. Aku tidak tahu namanya, tapi kelihatannya ia lebih tua dariku.

Ia pernah memintaku menyebutkan sebuah judul lagu untuk ia mainkan. Aku ingat, hari itu adalah pertengahan musim gugur.

Orang-orang mulai menantikan permainan gadis bersurai brown itu. Aku diam, hingga gadis itu menepuk bahuku.

"Sudah kau temukan? Aku bisa memainkan lagu apa saja, jadi tenanglah. Haha. Aku meminta ini padamu karena hanya kau yang sendirian di sini."

Aku masih ingat jelas tawanya.

Awalnya aku bilang tidak mau, tapi ia memaksaku. Kemudian kusebutkan judulnya. Pergi Bersamamu.

Gadis bersurai brown itu tersenyum. "Apa kau ingin pergi denganku?" Lalu terdengar kekehan.

"Tidak. Tidak mau."

Matanya sudah memejam. Tapi, kurasa, karena mendengar jawabanku, matanya kembali terbuka. "Kau pria yang lucu. Kalau begitu aku akan pergi sendirian. Haha."

"Terserah kau."

Setelah Rian pulang dari sekolahnya, ia mengajakku mengunjungi pertunjukan tari dan besoknya, gadis itu tidak lagi di sana.

Aku pernah bertanya pada Rian apa ia mengenali gadis bersurai brown itu dan Rian bilang ia sama sekali tidak tahu tentang gadis itu. Hanya kerap melihatnya di tepi jalan sambil memainkan nada klasik. Tidak ada yang tahu kemana gadis itu pergi. Ia menghilang.

Aku terus berlari mengejar langkah Rian yang semakin kebut. Aku tidak merasa bahwa mengatakan aku ingin mencari gadis berambut brown itu adalah hal salah. Kupikir Rian terlalu berlebihan, hingga ia menghindariku seperti sekarang.

"Stop, L!

Aku berhenti lima langkah dari tempatnya berdiri.

"Jangan mengikutiku lagi!"

Aku mengernyit. "Kenapa?"

"Aku tidak ingin mendengar gadis brown dan gadis brown itu lagi!" Rian menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, lalu tangannya berkacak pinggang. "Aku muak!"

"Apa yang salah?"

"Aku bilang aku tidak ingin mendengarnya! Sudah kubilang tidak, ya tidak!"

Rian berjalan mundur sambil tangannya menunjuk ke arahku, menyuruhku untuk tidak mengikutinya.

"Aku tidak tahu kau kenapa sekarang. Apa karena kau sedang datang bulan atau—"

"Jangan sebut begitu! Aku sedang tidak melewati hari-hari itu!"

"Oke, aku tidak akan menyebutnya lagi. Tapi bisakah kau berhenti? Dari langkah mundurmu itu?"

"Tidak bisa," Rian semakin menjauh dariku. "Aku tidak ingin lagi bersamamu. Sejujurnya aku takut padamu karena kau selalu membahas pianis itu. Dan..., dan beberapa waktu lalu ada yang bilang padaku bahwa kau gila, L!"

"Tapi aku mencintaimu, Rian."

"Oh, Ya Tuhan. Drama romance macam apa ini?" Rian mendengus kasar. "Bisa kau pergi dari sini?"

"Aku tidak akan pergi."

"Baiklah. Jika kau tak pergi, aku saja yang pergi."

"Ya sudah. Terserah."

Kemudian tubuh Rian menghilang digantikan abu hitam.

[]

1 Story Before Go To SleepWhere stories live. Discover now