01.

2.9K 176 5
                                    

Sunyi. Keadaan kelas dua belas mipa tiga saat ini sunyi, seakan tak berpenghuni. Seorang guru cantik berdiri di depan, pandangannya meliar memandangi setiap murid yang sedang serius menyelesaikan soal yang tersedia.

"Waktu pengerjaan tinggal sepuluh menit," ujar wanita yang umurnya sudah memasuki pertengahan kepala tiga. "Yang sudah boleh mengumpulkan," tambahnya.

Sigit yang duduk di kursi ke empat dari depan pada baris dekat jendela, berdiri. Pandangannya melihat kembali jawaban soal Biologi yang telah dia isikan. Memeriksa apakah ada kesalahan atau tidak. Setelah merasa yakin, pemuda itu melangkahkan kaki mendekati meja guru.

"Sudah, Bu. Saya boleh keluar kan?" tanyanya yang dijawab anggukan oleh Bu Eva, guru biologi itu.

Dengan pulpen yang dia gunakan untuk mengisi soal tadi dalam genggaman, Sigit melangkah keluar kelas. Sebelum benar-benar keluar, pemuda itu mengarahkan pandangannya pada Nita yang masih serius mengerjakan soal. Saat pandangan mereka bertemu, Sigit tersenyum. "Semangat, Nit," ujarnya tanpa suara.

Anita yang mengerti ucapan Sigit hanya memutarkan bola matanya, selalu seperti ini. Rasanya dia ingin mengutuk siapapun yang telah menempatkan dia dengan Sigit ada dalam satu kelas selama tiga tahun. Dia berpikir, jika saja mereka tidak ditempatkan pada satu kelas yang sama, mungkin Sigit tidak akan mengganggunya lagi. Tidak akan terus berusaha mendekatinya.

"Waktu habis. Kumpulkan sekarang, hasilnya pertemuan setelah ini akan Ibu umumkan. Dan seperti biasa, dua orang dengan nilai tertinggi akan mendapatkan nilai tambahan." Murid kelas mipa tiga satu persatu maju untuk mengumpulkan berkas soal masing-masing.

"Terimakasih untuk kerjasamanya. Selamat beristirahat."

Bagaimana tidak Amani menjadi sekolah favorite? Pasalnya, guru-guru yang mengajar disana telah terseleksi. Tidak ada kekerasan, bahkan sangat jarang ada guru yang memarahi muridnya. Selama kegiatan belajar-mengajar berlangsung, suasana kelas tentram. Murid pun enggan untuk membantah peraturan-peraturan yang ada.

"Lo kenapa lagi? Muka kok cemberut gitu?" tanya sahabat Nita saat melihat gadis itu terduduk lesu. Nita hanya menghela napas, sekarang pandangannya melihat ke luar melalui jendela.

"Masalah Sigit lagi?" Osa-nama sahabat Anita- kembali bertanya saat tak mendapat tanggapan. Sekarang Nita mengalihkan pandangannya pada gadis yang sudah menjadi sahabatnya sejak masuk SMA.

"Ya ... gue bingung, apa menariknya gue sampai-sampai dia terus ngejar gue. Padahal selalu dapat penolakan," terangnya.

Osa yang semula duduk di bangku pada baris sebelah tempat Nita, berpindah tempat pada kursi yang ada di depan meja Nita. Tangannya dia lipat di atas meja, pandangannya lurus ke arah Nita.

"Heh ... kenapa lo?" tanya Nita heran melihat sikap sahabatnya.

Osa menggeleng. "Sekarang gue tanya ... kenapa lo nggak mau nerima Sigit? Disaat yang lain berusaha buat dapetin dia, dan lo? Cewe beruntung yang tanpa lo usaha udah jadi pusat perhatiannya. Kenapa?" tanyanya.

Anita mengalihkan pandangannya ke arah luar. Melihat lapangan basket yang sekarang dihuni oleh empat pemuda tampan. Sigit dan teman-temannya.

Diperhatikannya kelincahan Sigit dalam memainkan bola basket. Kelihaian pemuda itu untuk menghindar dari hadangan Bara. Ketangkasan pemuda itu saat menerima bola operan dari Niko. Kecepatan gerakan tangannya agar bola basket tidak beralih ke tangan Ervan. Dia sadar, jika tidak membangun benteng yang kuat, hatinya pasti sudah luluh sejak lama.

"Dia terlalu sempurna untuk gue," jawab Nita. Osa lagi-lagi menggeleng, entah apa yang ada dipikiran sahabatnya. Mengapa bisa Nita menolak Sigit? Jika saja dia yang ada di posisi Nita saat ini, tentu saja dia sudah menerima Sigit dari pertama kali pemuda itu menyatakan perasaannya.

Takut Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang