Part 6 : Pertaruhan Masa Lalu

Start from the beginning
                                    

Beberapa menit lagi sebelum Lily tiba di sini. Merlin tidak yakin ia bisa mempertahankan akal sehatnya untuk waktu yang cukup lama.

Membayangkan berduaan dengan Lily dalam satu ruangan tertutup saja membangkitkan gairahnya. Apalagi mempertahankan sikap datarnya dan tidak melakukan apa-apa. Belum apa-apa Merlin sudah merasa seperti di neraka.

Lebih baik ia mengajari Lily di ruang terbuka dan ramai, masalahnya ia tidak bisa melakukan itu. Ya, alasan Merlin memilih mengajar Lily di ruang tertutup dan tersiksa karena hal itu tidak lain karena William.

William adalah sepupunya, dan Merlin sudah menganggapnya seperti kakak kandungnya sendiri. Merlin sudah merenggut banyak hal dari William, namun William justru berlapang dada dan bersikap seperti biasanya.

Namun hal itu tidak menghilangkan penyesalan yang menghinggapi Merlin. Kemudian Merlin berjanji berikutnya ia yang akan mengalah pada William. Merlin tidak menduga jika hal berikutnya adalah cinta.

Merlin mencintai gadis yang juga dicintai William. Gadis itu adalah impian terbesar yang akhirnya mereka berdua temukan. Begitu mengetahui hal tersebut Merlin memutuskan untuk menyerah dan mengubur dalam-dalam perasaanya.

Tapi, semakin lama ia berada di dekat Lily semakin Merlin menginginkannya. Ia menyukai segala hal mengenai gadis itu. Keberaniannya, ketegarannya, semangatnya, dan kecantikannya yang memukau, terutama tatapan matanya yang begitu dalam dan indah.

Tatapan mata itu yang telah mencuri hati Merlin. Mata yang berkobar-kobar bagaikan api namun tenang bagaikan tetesan air.

Lamunan Merlin buyar ketika suara ketukan pintu terdengar.

"Masuk," Merlin berusaha terlihat santai.

Pintu terbuka, memperlihatkan sosok seorang gadis dengan rambut merah jahe yang tergerai. Rambut gadis itu jatuh dengan sempurna, Merlin menelan ludahnya dengan susah payah.

"Duduklah," Merlin mempersilakan Lily duduk.

Lily mengangguk dan menarik sebuah kursi.

"Jadi, apa yang belum kau mengerti?"

"Mengenai passive voice Sir."

"Bukankah itu sudah dipelajari di tingkatan sebelumnya?"

Lily menggaruk kepalanya. "Karena suatu hal aku tidak mengerti."

"Baiklah," Merlin menarik napas panjang. "Sebenarnya materi itu bukan materi untuk ujian nanti, tapi jika tidak mengerti mengenai passive voice maka kau tidak akan bisa mengerjakan soal ujian."

Lily tersenyum, "Anda benar sekali Sir."

Merlin kembali ke sikap datarnya dan mulai mengajari Lily satu per satu poin mengenai passive voice. Lily memperhatikan dengan seksama penjelasan Merlin, tanpa terasa beberapa jam telah berlalu.

Merlin tampak merapikan barang bawaannya, pria itu ingin segera pergi dari tempat ini. Sekarang adalah kesempatan Lily untuk bertanya.

"Sir, last questions."

Merlin memiringkan kepalanya seraya memakai jas.

"Mengapa kau bersikap acuh padaku dan Sarah?" jantung Lily berdebar-debar saat bertanya.

"Tidak, hanya perasaanmu saja." Merlin mengambil tasnya buru-buru.

Pasti ada sesuatu, batin Lily.

Pieces of Heart [COMPLETED]Where stories live. Discover now