Dan ternyata, Moon Goddess sungguh baik sekali. Karena ia memberikan lebih dari yang aku pinta.

Tidak hanya sekedar dapat melihat wajahnya, kini aku bahkan dipeluk dengan begitu erat olehnya. Sangat menyenangkan, dan begitu nyaman, bahkan saat air mata gadis itu menyentuh wajahku, aku merasa ... hangat.

"Aradi ... "

Suaranya bahkan terdengar seperti nyanyian pengantar tidur di telingaku. Begitu merdu, lembut, dan juga menenangkan.

Andai aku dapat mendengarnya untuk waktu yang lama. Andai aku memiliki kesempatan untuk dapat mendengarnya lebih sering lagi memanggilku, hanya namaku.

"Aradi ... "

Ah, kau sungguh baik sekali Chara. Kau kembali menyebut namaku bahkan tanpa aku minta. Apakah kau mendengar apa yang aku katakan barusan?

Mata indah itu memerah, penuh linangan bening yang tampak begitu teduh dan menyejukkan bagiku. Aku senang. Aku bahagia ditatap dengan pandangan seperti itu olehnya.

Karena bagiku, itu sudah lebih dari cukup. Karena bagiku, kata-kata cinta darinya kini sudah tak penting lagi selama aku sendiri masih mampu mencintainya.

Aku bersyukur, karena di saat seharusnya seluruh indera pada tubuhku telah berhenti berfungsi akibat racun itu, Moon Goddess  memberiku kesempatan. Untuk dapat mendengar suaranya dengan jelas, dapat melihat wajahnya dengan penuh, dan juga merasakan hangat kulitnya yang menyentuhku.

Kulihat ada begitu banyak wajah di sana. Menatap penuh kekhawatiran padaku. Aku rasanya ingin tertawa, mempertanyakan mengapa mereka semua harus melihatku seperti itu. Padahal nyatanya, aku sendiri kini tengah bahagia.

Sampai kemudian kurasakan batas itu semakin mendekat. Berbisik pelan, dan mengatakan jika sekaranglah waktunya, saat di mana aku harus pergi. Meninggalkan dunia, meninggalkan dia yang aku cintai.

'Aro ... kau bahagia?'  Tanyaku untuk terakhir kalinya.

'Tidak pernah merasa lebih baik dari ini.'  Jawabnya lemah.

'Baguslah. Karena dengan begitu ... aku tidak lagi berhutang padamu.'  Ujarku senang.

Aku tiba-tiba teringat akan kata-kata Chara saat memelukku tadinya, dia berbisik pelan di telingaku.

'Karena hatiku akan mati jika bukan Lucian yang memilikinya. Bukan aku Aradi, bukan aku yang memilihnya. Melainkan hati ini, dialah yang menentukan. Dan dia ... memilih Lucian sebagai pemiliknya, menguasi seluruh bagiannya.'

Aku tersenyum kala mengingat ucapannya itu. Chara mengucapkannya begitu tulus, tanpa berusaha untuk menyakiti perasaanku. Lalu, memangnya apa yang harus kulakukan jika dia sendiri telah mengatakan itu?

Aku ... telah kalah.

Jadi, apakah aku punya alasan lagi untuk kembali merenggut kebahagiaannya?

Tidak-tidak! Aku bukanlah orang jahat. Cukup sekali aku melakukan itu. Karena kini, aku sendirilah yang akan menghantarkan kebahagiaan itu ke hadapannya.

Dan Lucian ... adalah kebahagiaan Chara.

Aku menggenggam tangannya erat, menatap tepat ke arah matanya, ketika akhirnya kata-kata perpisahan paling tepat yang telah aku pikirkan sedari tadi dapat terucap.

"Aku mencintaimu ... Luna." Bisikku pelan.

Dapat kulihat Lucian juga menatap sendu ke arahku. Kasihan, rasa terima kasih, sedih? Entahlah. Aku tak dapat menilai tatapan mana yang diberikannya untuknya itu.

My Mina ✓Where stories live. Discover now