信じる (Percaya)

886 79 71
                                    

Bunga-bunga matahari masih bergoyang berkeresakan, seakan mereka tidak mau membiarkan tempat ini diselimuti kesunyian. Tempat di mana Pao dan aku masih bediri saling menatap dalam kebisuan.

Ini pertama kalinya seseorang mengatakan hal itu padaku secara langsung. Dan hal yang paling membuatku terkejut adalah, orang itu adalah salah satu teman dekatku sendiri dan juga seorang laki-laki, yang sepanjang pengetahuanku memiliki seorang pacar perempuan.

"Aku..." suaraku terdengar lirih dan aku mengarahkan mataku ke bawah, menunduk, tidak kuat lagi membalas tatapan Pao. "Itu..."

"Jawab aja, Za, sejujurnya," suara Pao terdengar tenang. Namun ketenangannya itu justru yang membuatku tersentak dan kembali memandang Pao. Ekspresinya masih belum berubah.

Aku membuka mulutku, tetapi tak ada suara apapun yang keluar. Aku bahkan tak tahu apa yang akan aku katakan seandainya aku sanggup bersuara. Aku mulai merasakan tanganku yang menggenggam sepeda gemetar. Nafasku mulai tak teratur, dan ujung-ujung jariku terasa dingin. Otakku beku tak bisa berpikir.

"Maaf, Pao," akhirnya aku berhasil mengeluarkan suaraku. "Kita... kita kan temenan. Kalo misalnya... kita jadian atau apa, pasti... pasti..." aku kembali terdiam, tidak tahu alasan apa yang sebenarnya ada di kepalaku.

Genggaman tanganku di gagang sepeda menguat, berusaha menahan getaran dan keringat dingin yang mulai keluar. Debaran cepat jantungku memompa darah di tubuhku semakin cepat, tetapi sama sekali tidak ada kehangatan yang dialirkan di sana.

"Lagian kita kan..." aku mencoba melanjutkan jawabanku, "kita kan sama-sama cowok, Pao." Aku kembali menunduk, tak sanggup jika harus melihat ekspresi sakit hati yang mungkin akan muncul karena kata-kataku barusan.

"Itu jawaban yang gue tunggu dari lo, Za," nada suara Pao tiba-tiba berubah.

"Hah?" sontak, aku kembali memandang Pao, yang sekarang menyunggingkan senyum lebar di wajahnya. "Maksudnya?"

Senyum Pao semakin lebar, dan wajahnya kembali terlihat cerah. Seketika aku merasa angin pegunungan yang masih bertiup perlahan terasa lebih hangat, "Gue kan cuma bilang 'kalo', bukannya beneran. Jadi lo gak usah panik kayak gitu."

Senyum Pao berubah menjadi tawa kecil. Kemudian tawa kecilnya membesar, bahkan sekarang Pao tertawa sambil memegang perutnya.

Aku langsung menghembuskan nafas lega, jari-jariku mulai terasa dialiri darah hangat, dan genggamanku mengendur. "Ya ampun, Pao, bercandanya jangan keterlaluan gitu dong. Aku panik tahu."

"Tenang, Za, tenang. Gue masih suka cewek kok," tawa Pao sudah mulai berhenti, sekalipun senyumnya masih tertinggal. "Tapi yang gue tanyain tadi itu sama sekali bukan bercanda, itu pertanyaan serius. Soalnya gue penasaran sama lo."

"Penasaran apaan?" alismataku bertaut jengkel.

"Gue penasaran, apa yang terjadi kalo lo ngalamin kejadian kayak tadi," dengusan kecil kembali terdengar. "Ternyata jawaban lo sesuai harapan gue. Gue lega."

"Ya jelaslah," aku menukas dengan kesal. "Aku bingung tahu, Pao. Apalagi aku belum pernah ditembak sebelumnya, paling cuma pernah dikasih cokelat Valentine anonim lewat loker. Yang ada di pikiran aku cuma, 'aku harus nolak, aku harus nolak,' tapi sama sekali gak tahu harus ngomong apa. Aku takut nyakitin hati kamu kalo aku salah ngomong."

"Iya, iya, ngerti, sorry ya, Za," ekspresi Pao menunjukkan bahwa dia menyesal. "Yaaa sebenernya gue punya alasan lain juga sih, kenapa gue ngelakuin hal tadi."

"Alasan lain apalagi? Bukan cuma karena pingin bercanda aja kan?" aku bertanya dengan curiga. Setahu aku yang hobi bercanda aneh-aneh ke aku cuma Bimo deh.

Firefly and ButterflyNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ