32

43.3K 2.9K 353
                                    

Obat rindu hanya bertemu. Namun jika untuk bertemu saja tak mampu, jangan salahkan lagi jika sudah tak ada rindu.

.
.
.

Keduanya berjalan dengan langkah cepat di koridor kelas menuju ruang rapat. Dengan tumpukan berkas-berkas di tangan mereka. Salah satu diantaranya Nampak memasang wajah kesal.

"Padahal udah di tahun terakhir. Masih aja gue dibudakin," keluhnya.

"Dibudakin dan dipercayai. Kadang seseorang memang nggak bisa membedakan arti keduanya."

"Tapi kalau ini sih memang beneran dibudakin. Masa harus ketua dan wakilnya yang turun tangan dan ngubek-ngubek nyari berkas sebanyak ini, sih!" Sambil membenarnya letak berkas yang dibawanya, dia melanjutkan kekesalannya. "Padahal gue senior lho ini, senior!"

"Umur lo juga nggak lebih tua daripada gue."

"Bangga banget situ jadi tua?"

"Asyraf! Mitha!"

Percakapan mereka terhenti saat seseorang memanggil nama mereka dari belakang. Lantas keduanya pun menghentikan langkah dan berbalik. Nampak seorang cowok berkacamata bulat dengan bingkai hitam berlari kea rah mereka.

Setelah sampai di depan Asyraf dan Mitha, cowok itu mengatur napasnya lalu berbicara. "Udah dicari. Tetep nggak ketemu."

Asyraf Nampak menghela napas. "Ya udah, masuk aja. Tolong sekalian bawain berkas yang dibawa Mitha."

Cowok itu mengangguk dan mengambil tumpukan berkas di tangan Mitha ke tangannya. Setelah berkas itu beralih padanya, dia kembali berjalan menuju ruang rapat dengan langkah cepat. Diikuti Asyraf dan Mitha.

"Thankyou," ucap Mitha kepada Asyraf.

Asyraf tak menanggapi. Dia justru mengubah topik pembicaraan. "Gimana persiapan sidangnya?"

"Lancar!" jawab Mitha sambil mengacungkan ibu jarinya dan tersenyum. "Optimis pasti lulus."

Asyraf mengangguk.

Sejak pertemuan mereka di ruang rapat lima bulan yang lalu, keduanya kini menjadi dekat. Asyraf sudah tidak lagi menjauhi Mitha, sudah tidak lagi mengasingkan Mitha. Mereka benar-benar telah menjadi teman.

"Ah, tapi pasti pas wisuda nanti lo nggak bakal bisa dateng, kan?"

"Iya. Gue harus pulang. Gue harus ketemu Veera."

Mitha mengangguk-angguk sambil tersenyum. "I know. And I forgive you."

"Tapi gue selalu punya feeling dia nggak pulang tahun ini."

"Kenapa gitu?" Mitha menoleh ke arah Asyraf yang wajahnya telah berubah menjadi layu. "Kok sekarang elo jadi sering main hati gini, sih? Biasanya selalu pakai logika."

Asyraf mengangkat kedua bahunya. "Just the feeling."

"Jangan berprasangka buruk dulu. Berdoa aja yang baik-baik dulu." Mitha kembali menoleh ke arah Asyraf. "Jangan baper terus. Kayak cewek aja!" ucapnya sambil menjulurkan lidahnya dan tertawa. Sebelum mendapati lirikan tajam dari Asyraf, Mitha pun sudah memutuskan untuk lari menjauh dari Asyraf menuju pintu ruang rapat yang di dalamnya sudah berkumpul anggota himpunan mahasiswa Indonesia sambil terus tertawa.

Dari tempatnya, Asyraf terdiam. Entah sejak kapan dia baru menyadari kalau bukan lagi tawa milik Veera yang selalu dia dengar. Bukan lagi wajah Veera yang dia lihat, dan bukan lagi kedua mata Veera yang menatapnya.

Namun, tetap ada satu hal yang belum dan tidak akan pernah berubah. Debaran di dalam dadanya hanya milik Veera. Hanya senyum, tawa, wajah dan mata milik Veera yang mampu mendebarkannya.

Almost BrokenWhere stories live. Discover now