November, 2013
November, dikenal dengan bulan basah, Pengundang hujan. Saat itu seorang anak lelaki memacu sepeda gunungnya, menapaki aspal menanjak di tengah keramaian kendaraan dan bias lampu jalanan kota. Hujan dan November seperti perangko yang melekat, tak terpisahkan. Saat rintik hujan tipis menderu membasahi celah-celah gerigi roda sepeda, saat itu beberapa kilometer jaraknya seorang gadis sedang menanti di bawah detak jantung jam tua berumur ratusan tahun yang menjulang di tengah-tengah kota yang bias tak terdengar. Sebuah bangunan jam tinggi di pusat kota.
"Arana, ayo sayang!" payung hitam yang Arana pegangi condong, matanya lurus menghadap wanita cantik pemilik suara merdu yang memanggil namanya. "Sudah hampir satu jam kamu berdiri di tengah hujan begini. Mama nggak mau kamu sakit."
"Sepuluh menit lagi ya ma," mohon Arana dengan wajah yang tak tertolak.
Sang ibu hanya dapat mendesah, mengalah. Entah apa yang anak gadisnya itu tunggu. Apapun itu ia hanya ingin Arana bahagia. Gadis kecilnya sudah tumbuh dewasa dalam derita yang tak mampu terkata.
"Baiklah, sepuluh menit oke? Setelahnya kita akan ke bandara." Arana tersenyum membalas wajah cemas ibunya. Seakan-akan berkata 'semua baik-baik saja.'
Laki-laki di atas sepeda, memandang angka pada jam digital yang terpasang di tangannya. Dalam pandangan kabur senja berbaur hujan, ia menyadari bahwa dirinya sudah jauh terlambat dari waktu yang ditentukan.
Anak laki-laki itu tidak pernah menyangka bahwa 'SunFlower' nama id di sebuah laman chating yang ia selami selama satu tahun ini memintanya untuk bertemu. Sering kali ia mengajak pemilik Id itu beradu muka, berawal karena iseng, penasaran, hingga benar-benar berharap mengetahui siapa gadis dibalik nama 'SunFlower' tersebut, namun tidak pernah ia tanggapi.
Memacu pedal sepeda, menderu rintikan hujan. Rambutnya yang tersisir rapi tersibak angin. sekali lagi ia memandang angka pada jam digitalnya.
"Sial...!" kenapa ia tertidur lelap seharian ini? tidak biasanya ia seperti itu. Membaca pesan dari gadis itu membuatnya merasa khawatir. Sebuah kata perpisahan yang membuat bulu kuduk berdiri.
Thaqib memacu sepedanya lebih cepat. Pewaktu lampu lalu lintas terus berubah. Lampu hijau yang menyala segera akan berubah merah. Thaqib menumpukan semua kekuatannya di kaki, mengayuh sepeda sekencangnya. Melewati persimpangan sebelum lampu menyala merah. Dan...
BLAM!!
Sebuah mobil menabrak sepeda Thaqib.
TIIIIIIITT....
Yang terdengar hanya suara dengungan, beberapa orang mengerubungi Thaqib. Thaqib menyentuh telinganya yang terbentur stang sepeda. Terasa menyakitkan.
Seorang pria mendekati Thaqib dan membantunya berdiri. "Nak...Nak... kau tidak apa-apa? dimana yang terluka?"
Syukurlah ia masih bisa mendengar tetapi bukan suara itu yang mengganggu Thaqib melainkan suara detak jarum jam tangan sang bapak yang berada dipundaknya.
"Nak... Kau dengar aku? Tampaknya telingamu terluka, ayo kita kerumah sakit," ucap pria tersebut membantu Thaqib berdiri.
Thaqib, menahan tangan pria yang menariknya kemudian berkata, "Saya baik-baik saja, Pak. Terimakasih. Tetapi saya harus segera pergi."
"Kau yakin? Aku rasa kita harus memastikan semua baik-baik saja dirumah sakit."
"Nanti, saya akan kerumah sakit nanti."
"Baiklah, kalau begitu kau bisa menghubungiku jika terjadi sesuatu." Ia memberikan kartu namanya kepada Thaqib. "Kau mau kemana? aku bisa mengantarmu, Nak. Sepedamu tampaknya rusak."
"Terimakasih, Pak. Tapi tujuan saya sudah dekat." Thaqib menunjuk monument jam yang menjulang tinggi dari tempatnya berada. Bercahaya dalam gelap senja.
***
Sepertinya ia tidak akan datang.
Arana menatap langit yang menurunkan bulir-bulir hujan. Langit hitam sepanjang pandangannya. Arana tidak menyukai malam, karena gelap membuatnya selalu ketakutan. Takut tak akan pernah bisa melihat terang.
"Sayang, sekarang sudah lewat dari sepuluh menit. Kita harus segera ke bandara," panggil sang Ibu memegang pundaknya.
Arana menoleh pada sang Ibu, ia mengangguk dan tersenyum lembut kemudian berkata, "Ma, Maafin Arana yang selalu bikin mama kerepotan."
"Kamu itu bicara apa sih sayang? Kamu nggak pernah ngerepotin mama. Mama yang harusnya minta maaf sama kamu, mama nggak bisa kasih yang terbaik buat kamu."
Arana menggeleng, "Mama adalah ibu terbaik yang Tuhan kasih buat Arana. Jika Arana dikasih kesempatan terlahir kembali, Arana tetap memilih terlahir dari rahim Mama dalam keadaan yang lebih baik. Agar Arana tidak lagi membuat Mama bersedih."
***
Thaqib memandang ke sekeliling menara jam, tidak ada siapa-siapa. Ia terlambat, gadis itu sudah pergi. Thaqib membuka aplikasi email dari ponselnya. Membuka kembali pesan dari SunFlower yang terlambat ia baca.
SunFlower
3 jam yang lalu, 16.58
Kepada: saya
Jika aku harus pergi dan tak kembali.
Sekali saja aku ingin bertemu dengan mu.
Ps: Di bawah menara jam 19.00
***
YOU ARE READING
Fajar dalam Botol Hitam
Teen FictionArana, sang bunga matahari, seorang gadis tertutup yang hanya mengintip dunia dari kaca jendela sebuah kamar berukuran sepuluh kali dua belas meter. Memiliki mimpi sederhana. Menari di bawah melodi matahari. Thaqib, si bintang jatuh, pencari kebeba...
