PROLOG

529 176 120
                                    

Jakarta, 14 Juni 2012

Palu telah diketuk sebanyak tiga kali, menandakan keputusan terakhir sudah disetujui dan tak lagi goyah.

Para hakim dan peserta sidang lantas meninggalkan tempat, menyisakan aku dan Ayah yang bersiap menghadapi sorot kamera di luar sana.

Mustahil hal seperti ini tak tersorot media, sementara ayah merupakan salah satu jaksa paling berpengaruh.

Andai tuhan yang memberi keadilan dan bukan hakim yang memutuskan, setidaknya tua bangka tak tau diri ini sudah menikmati dosanya sendiri. Sungguh sayang, hukum di negeri ini hanya manusia yang memegang kendali.

Sebelum pintu ruangan terbuka, pak tua di sampingku ini menggeleng pelan untuk memberi peringatan padaku.

Begitu pintu berdecit, aku menunduk.

Hakku terkubur jauh di dalam sana. Riuh ibukota dan warna dunia tak lagi sama. Semuanya gelap bagiku. Mulai hari ini, esok hingga nanti, takkan ada lagi matahari di hidupku.

"Pak Danu, bagaimana kondisi putra bungsu bapak saat ini?"

"Apa keputusan yang telah diambil oleh hakim pak?"

"Apa alasan Marcel melakukan itu pak?"

"Tolong komentarnya pak,"

"Bagaimana kondisi Marcel saat ini pak?"

"Marcel baik-baik saja saat ini, dan semua yang terjadi hari itu hanya kesalah pahaman diantara kami. Ya, maklum namanya masalah keluarga." jawab Ayah masih menebar senyum kebaikan berbau busuk.

"Kalau baik-baik saja, kenapa Ibu menuntut putranya sendiri?"

"Apa ada hubungannya dengan kasus Marcel di sekolah tahun lalu pak?"

"Mengapa reaksi Ibu cukup keras terhadap masalah ini pak?"

Rahangku mengeras tiap mendengar pertanyaan para wartawan yang saling beradu, hingga berdengung dan seolah terekam di telingaku. Sungguh buas singa-singa media ini. Tak puas jika santapannya belum tercabik hingga robek.

Aku menoleh pada Haris, menarik lengan kemejanya agar ia membuka jalan untukku. Tapi Harris hanya menggeleng, menepuk pundakku pelan. Resikonya memang besar untuk kabur saat ini, tapi suara lalat-lalat kotor yang bertabrakan dengan gonggongan anjing di depanku ini membuatku muak.

Menunduk tak membuatku baik-baik saja, pandanganku juga ikut kabur. Detik berikutnya sunyi senyap mendera, sampai hening kemudian membuatku panik. Bahkan deru angin seolah berhenti.

Aku mendongak memastikan, dan mulut besar mereka bergerak cepat. Aku tau mereka masih bertanya, dan Ayah terus menjawab dengan tenang. Tapi kenapa telingaku bergeming?

Lampu kamera mendadak menghakimiku. Semua mata lensa tertuju padaku, dan mereka beralih mengejarku. Tapi Harris sigap menutup wajahku dengan jaket, dia berlari mengamankanku ke mobil. Sementara Ayah berusaha membuat statement untuk menutupi gerak refleksku. Beliau membelaku habis-habisan, dengan niat membersihkan namanya dari tuduhan publik.

Semu.

Segala hal yang dia lakukan hanya untuk dirinya sendiri, bukan untukku. Bukan untuk duniaku.

Kalau boleh aku meminta, aku sungguh ingin tuhan mengadilinya secara langsung.


Kalau boleh aku meminta, aku sungguh ingin tuhan mengadilinya secara langsung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MoonlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang